Judul Buku : Pendidikan Karakter Ajaran Tuhan
Editor : Prof. Dr. Ahmad Tafsir
Penerbit : Rosdakarya, Bandung
Cetakan : I, Desember 2018
Tebal : 250 halaman
ISBN :
978-602-446-296-3
Peresensi : Ahmad Fatoni, Pengajar Pendidikan Bahasa Arab UMM
ADA yang beranggapan bahwa
keberhasilan proses pendidikan ditentukan oleh seberapa jenius otak setiap anak didik. Semakin ia jenius
maka semakin dianggap sukses. Semakin ia meraih
predikat juara kelas berturut-turut, maka semakin sukseslah ia.
Padahal, tak jarang anak
didik yang sukses di masyarakat justru tidak mendapat prestasi
gemilang di sekolahnya. Sebab kesuksesan tidak melulu terkait kecerdasan
otak saja. Akan tetapi, kesuksesan ternyata lebih ditentukan oleh kecakapan
membangun hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, orang lain dan
lingkungan.
Kecakapan membangun hubungan dengan tiga pilar (Tuhan, diri sendiri, dan sosial) tersebut merupakan ciri-ciri karakter yang
dimiliki orang-orang sukses. Setiap hasil hubungan itu akan memberikan penyadaran tentang pentingnya pendidikan
karakter sejak dini yang pada akhirnya
menjadi nilai dan keyakinan anak didik.
Sebagaimana diungkap
buku Pendidikan Karakter Ajaran Tuhan ini, pembentukan karakter harus melibatkan aspek iman, ibadah, dan akhlak, yang kini dikenal dengan
pendidikan agama (hlm.41). Agama (Islam) sendiri isinya adalah cara hidup. Maka
pendidikan agama adalah pendidikan yang menyeluruh tentang kehidupan. Inilah
esensi sesungguhnya dari pendidikan karakter yang notabene bermuara dari ajaran
Tuhan.
Mengutip QS. Al-Baqarah: 38, Ahmad Tafsir menyimpulkan,
tujuan pendidikan Islam sebetulnya amatlah sederhana, yaitu agar manusia mengetahui cara
hidup dan hidup dalam cara itu. Dalam konteks pendidikan anak, teori pertama
dalam pendidikan agama adalah bagaimana anak didik beriman kepada Allah, kendati
pun anak itu belum mampu memikirkannya. Berbeda dengan konsep pendidikan Barat
yang lebih memprioritaskan perkembangan pemikiran peserta didik.
Berdasarkan
ujaran Luqman kepada anaknya yang terekam dalam QS. Luqman: 14-19, penulis lalu
secara rinci mengulas 6 prinsip pendidikan Islam; ajakan untuk beriman,
penghormatan kepada orangtua, shalat, amar ma’ruf nahi munkar, sabar, dan tidak
sombong. Sampai di sini belum ada pendidikan akal agar berfikir kritis,
menganalisis, dan sebangsanya. Pendidikan Islam lebih mendahulukan 6 prinsip di
atas sebagai fondasi keterampilan apapun.
Selama
ini, umumnya orang membincang kegagalan pendidikan jika sebuah lembaga
pendidikan tidak menghasilkan lulusan yang siap pakai karena tidak sesuai
dengan kebutuhan lapangan kerja. Bahkan, sebagian orang menganggap inilah
masalah yang paling besar dalam pendidikan. Menurut Ahmad Tafsir, cara berfikir
semacam itu adalah cara pandang pragmatis.
Tulis
Ahmad Tafisr selanjutnya, kemanusiaan manusia ada di dalam batinnya. Batin
itulah yang mengendalikan manusia. Itu sebabnya pendidikan Islam senyatanya
mengutamakan pembinaan hati. Hakikat kesuksesan manusia tidak hanya
mengandalkan keberhasilan secara lahiriyah, melainkan juga mengedepankan
keberhasilan secara batiniyah yang tersusun dari akan dan hati sekaligus yang
pada gilirannya mewujud dalam perilaku peserta didik.
Kenyataanya,
kegagalan utama pendidikan kita justru terletak pada pendidikan akhlak sehingga
menyebabkan krisis berkepanjangan. Pendidikan kita memang telah berhasil
mencetak peserta didik yang pintar secara akademik, namun sering tidak cerdas
akhlaknya. Memang, lembaga pendidikan Islam cukup mampu mengajar bagaimana tata
cara shalat, mengajak puasa, mendorong pergi haji, atau menyemangati bayar
zakar, tetapi kerap gagal menanamkan akhlak mulia.
Buku ini lahir dari ragam artikel penulis yang pernah
berserak di berbagai surat kabar. Sebagiannya merupakan adaptasi dari beberapa
makalah yang pernah disiapkan dalam forum seminar, diskusi atau work shop,
atau sekadar untuk bahan ceramah. Sebagian tulisan bahkan ditulis tahun
1960-an, namun tetap relevan dengan perkembangan pendidikan saat ini. Kelebihan
sekaligus ciri khas tulisan Ahmad Tafsir, buku ini pun ditulis pendek-pendek
dengan bahasa yang “gurih dan renyah” sehingga tidak membosankan.
Buku semacam ini dapatdijadikan pedoman, terutama para guru dan
orangtua, untuk membimbing akhlak anak-anak agar tumbuh menjadi generasi yang
salih. Tak pelak, pendidikan pokok anak-anak dapat dimulai dengan penanaman
iman, lalu pembiasaan karakter yang luhur, menundukkan hawa nafsu, di bawah
naungan ridha Ilahi. Dengan begitu, lingkungan sosial dapat diperbaiki melalui
pembangunan karakter sesuai ajaran Tuhan.
(Resensi ini dimuat di harian Malang Post, Minggu 31 Maret 2019)