Judul : Muhammad Mahfudz At-Tarmasi Ulama Hadits
Nusantara Pertama
Penulis : Dr. Muhajirin, M.A.
Penerbit : Idea Press, Yogyakarta
Edisi : April 2016
Tebal : 128 halaman
ISBN :
978-602-0850-28-3
Peresensi :Ahmad
Fatoni, Pengajar Bahasa Arab Universitas Muhammadiyah Malang
SEJAK
terjalinnya hubungan inetelektual antara ulama Nusantara dengan ulama Makkah,
tidak satu pun ulama Nusantara yang dikenal sebagai muhaddits (ahli
hadits). Kendati tidak sedikit dari mereka yang sudah menuangkan
karyanya di bidang hadits, tetapi gelar yang disandangkan bukan sebagai ahli
hadits, melainkan ahli fiqih, bahasa, tarekat dan tasawuf.
Adalah
Muhammad Mahfuzh ibn Abdillah ibn Abdul Mannan At-Tarmasi (1868-1919 M) adalah
seorang ulama yang menyandang gelar muhaddits pertama asal Nusantara. Ia
mendapat ijazah pengajaran Shahih Bukhari yang isnadnya bersambung ke
Imam Bukhari. Bahkan, salah satu karyanya di bidang hadits membuatnya mendapat
julukan Pembangkit Ilmu Dirayah Hadits.
Buku
ini menginformasikan kepada pembaca akan kelayakan gelar yang dimiliki
At-Tarmasi, berikut petualangan ilmiahnya sejak kecil hingga menjadi pengajar
hadits ternama di Masjidil Haram, beberapa pesantren yang disinggahinya, peran
dan kontribusinya terhadap pengajaran hadits di Nusantara serta segala sesuatu
yang mengitari pribadi maupun keluarganya.
Para sejarawan sepakat bahwa At-Tarmasi dilahirkan di Tremas, Pacitan, Jawa Timur.
Soal tanggal lahirnya, terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan
beliau lahir pada 12 Jumadil Ula 1285 H/12 Agustus 1842 M, ada pula yang mengatakan beliau lahir pada 6 Shafar
1280 H.
Adapun “At-Tarmasi” adalah nisbat kepada Tremas, Pacitan, Jawa timur. Saat At-Tarmasi
lahir, ayahnya masih di Makkah
sehingga ia dibesarkan oleh ibunya dan
saudara-saudara ibunya. Dalam buaian mereka, At-Tarmasi
kecil berhasil hafal Al-Qur’an dan
pendidikan agama dasar dari para ulama Jawa.
At-Tarmasi pernah bilang, “Tremas adalah desa kelahiranku
dan aku menghabiskan masa remajaku di sana hingga usia 13 tahun. Kemudian aku
pergi ke Makkah untuk menunaikan haji.”
Lalu, beliau tinggal di sana dan menerima berbagai ilmu dari para ulamanya.
Pada tahun 1291 H, orang tuanya, Syekh
Abdullah At-Tarmasi, mengajaknya ke Makkah dan mengajarinya beberapa kitab, lalu ia
kembali lagi ke Jawa. Di Jawa, ia pergi ke Semarang dan belajar kepada Syekh
Sholeh bin Umar Darat. Lalu, ia kembali lagi ke Makkah dan mengaji kepada ulama-ulama
hadits ternama di sana hingga menjadi ahli dalam hadits dan ilmu hadits.
Akhirnya, gurunya Sayyid Bakar Syatha memberikan wewenang untuk mengajar di
Masjidil Haram di pintu Shafa.
Banyak para ulama yang lulus
dari didikannya, di antaranya, Syekh Hasyim Asy’ari Jombang pendiri pondok Tebuireng dan Syekh Bisri Syamsuri pendiri pondok Denanyar,
Syekh Abdul Muhith bin Yakub Sidoarjo Surabaya. Mereka inilah yang para
pelopor berdirinya
organisasi Nahdlatul Ulama pada tahun 1926 M.
Selain
keahliannya di bidang hadits, At-Tarmasi juga dikenal sebagai pakar fiqih,
ushul fiqih, dan ilmu qiraah. Dalam penulisan karya, ia memiliki keistimewaan dari sisi kompetensi dalam menyelesaikan karyanya
dalam waktu yang amat singkat. Kitab Minhaj Dzawi an-Nazhar,
misalnya, ia
selesaikan hanya dalam 4 bulan dan 14 hari.
At-Tarmasi sempat pula berguru kepada banyak ulama
pada zamannya, dan mereka adalah orang-orang yang sangat mendalam ilmu dan
pengetahuannya. Pada awalnya ia berguru kepada ayahnya, yaitu Al-Faqih Abdullah
bin Abdul Manan At-Tarmasi dalam kitab Syarh
Al-Ghayah (Taqrib) karya Ibnu Qasim
Al-Ghazi, Al-Minhaj Al-Qawim, Fath Al-Mu’in, Fath
Al-Wahab, Syarh Asy-Syarqawi ‘ala Al-Hikam, Tafsir Al-Jalalain dari surah Al-Fatihah
sampai surah Yunus.
Demikian guru-guru At-Tarmasi.
Namun di antara para ulama tersebut, orang yang paling berpengaruh dari sisi
kepakarannya dalam fiqih adalah Syekh Abu Bakar Muhammad Syatha penulis I’anah
Ath-Thalibin Syarah Fath Al-Mu’in.
Menelaah hasil penelitian Dr. Muhajirin
dalam buku ini sesungguhnya memertegas teori tentang pengaruh Makkah dalam
proses islamisasi Nusantara. Artinya, Islam di Nusantara tidak bisa lepas dari
gagasan dan praktik keagamaan di Masjidil Haram. At-Tarmasi dan beberapa ulama besar
asal Nusantara yang menimba ilmu di Makkah telah berperan besar dalam transmisi
keilmuan kepada generasi berikutnya sekaligus mewarnai perkembangan dan
pembaruan Islam di bumi Nusantara.