Sabtu, 28 Oktober 2017

Muhaddits Nusantara Pertama Bernama At-Tarmasi



Judul               : Muhammad Mahfudz At-Tarmasi Ulama Hadits
                          Nusantara Pertama   
Penulis            : Dr. Muhajirin, M.A.
Penerbit          : Idea Press, Yogyakarta
Edisi               : April 2016
Tebal               : 128 halaman
ISBN              : 978-602-0850-28-3
Peresensi        :Ahmad Fatoni, Pengajar Bahasa Arab Universitas Muhammadiyah Malang


SEJAK terjalinnya hubungan inetelektual antara ulama Nusantara dengan ulama Makkah, tidak satu pun ulama Nusantara yang dikenal sebagai muhaddits (ahli hadits). Kendati tidak sedikit dari mereka yang sudah menuangkan karyanya di bidang hadits, tetapi gelar yang disandangkan bukan sebagai ahli hadits, melainkan ahli fiqih, bahasa, tarekat dan tasawuf.
Adalah Muhammad Mahfuzh ibn Abdillah ibn Abdul Mannan At-Tarmasi (1868-1919 M) adalah seorang ulama yang menyandang gelar muhaddits pertama asal Nusantara. Ia mendapat ijazah pengajaran Shahih Bukhari yang isnadnya bersambung ke Imam Bukhari. Bahkan, salah satu karyanya di bidang hadits membuatnya mendapat julukan Pembangkit Ilmu Dirayah Hadits.
Buku ini menginformasikan kepada pembaca akan kelayakan gelar yang dimiliki At-Tarmasi, berikut petualangan ilmiahnya sejak kecil hingga menjadi pengajar hadits ternama di Masjidil Haram, beberapa pesantren yang disinggahinya, peran dan kontribusinya terhadap pengajaran hadits di Nusantara serta segala sesuatu yang mengitari pribadi maupun keluarganya.
Para sejarawan sepakat bahwa At-Tarmasi dilahirkan di Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Soal tanggal lahirnya, terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan beliau lahir pada 12 Jumadil Ula 1285 H/12 Agustus 1842 M, ada pula yang mengatakan beliau lahir pada 6 Shafar 1280 H.
Adapun “At-Tarmasi” adalah nisbat kepada Tremas, Pacitan, Jawa timur. Saat At-Tarmasi lahir, ayahnya masih di Makkah sehingga ia dibesarkan oleh ibunya dan saudara-saudara ibunya. Dalam buaian mereka, At-Tarmasi kecil berhasil hafal Al-Qur’an dan pendidikan agama dasar dari para ulama Jawa.
At-Tarmasi pernah bilang, “Tremas adalah desa kelahiranku dan aku menghabiskan masa remajaku di sana hingga usia 13 tahun. Kemudian aku pergi ke Makkah untuk menunaikan haji.” Lalu, beliau tinggal di sana dan menerima berbagai ilmu dari para ulamanya.
Pada tahun 1291 H, orang tuanya, Syekh Abdullah At-Tarmasi, mengajaknya ke Makkah dan mengajarinya beberapa kitab, lalu ia kembali lagi ke Jawa. Di Jawa, ia pergi ke Semarang dan belajar kepada Syekh Sholeh bin Umar Darat. Lalu, ia kembali lagi ke Makkah dan mengaji kepada ulama-ulama hadits ternama di sana hingga menjadi ahli dalam hadits dan ilmu hadits. Akhirnya, gurunya Sayyid Bakar Syatha memberikan wewenang untuk mengajar di Masjidil Haram di pintu Shafa.
Banyak para ulama yang lulus dari didikannya, di antaranya, Syekh Hasyim Asy’ari Jombang pendiri pondok Tebuireng dan Syekh Bisri Syamsuri pendiri pondok Denanyar, Syekh Abdul Muhith bin Yakub Sidoarjo Surabaya. Mereka inilah yang para pelopor berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama pada tahun 1926 M.
Selain keahliannya di bidang hadits, At-Tarmasi juga dikenal sebagai pakar fiqih, ushul fiqih, dan ilmu qiraah. Dalam penulisan karya, ia memiliki keistimewaan dari sisi kompetensi dalam menyelesaikan karyanya dalam waktu yang amat singkat. Kitab Minhaj Dzawi an-Nazhar, misalnya, ia  selesaikan hanya dalam 4 bulan dan 14 hari.
At-Tarmasi sempat pula berguru kepada banyak ulama pada zamannya, dan mereka adalah orang-orang yang sangat mendalam ilmu dan pengetahuannya. Pada awalnya ia berguru kepada ayahnya, yaitu Al-Faqih Abdullah bin Abdul Manan At-Tarmasi dalam kitab Syarh Al-Ghayah (Taqrib) karya Ibnu Qasim Al-Ghazi, Al-Minhaj Al-Qawim, Fath Al-Mu’in, Fath Al-Wahab, Syarh Asy-Syarqawi ‘ala Al-Hikam, Tafsir Al-Jalalain dari surah Al-Fatihah sampai surah Yunus.
Demikian guru-guru At-Tarmasi. Namun di antara para ulama tersebut, orang yang paling berpengaruh dari sisi kepakarannya dalam fiqih adalah Syekh Abu Bakar Muhammad Syatha penulis I’anah Ath-Thalibin Syarah Fath Al-Mu’in.
Menelaah hasil penelitian Dr. Muhajirin dalam buku ini sesungguhnya memertegas teori tentang pengaruh Makkah dalam proses islamisasi Nusantara. Artinya, Islam di Nusantara tidak bisa lepas dari gagasan dan praktik keagamaan di Masjidil Haram. At-Tarmasi dan beberapa ulama besar asal Nusantara yang menimba ilmu di Makkah telah berperan besar dalam transmisi keilmuan kepada generasi berikutnya sekaligus mewarnai perkembangan dan pembaruan Islam di bumi Nusantara.

Selasa, 10 Oktober 2017

Aku & Buku #2 Perempuan-perempuan yang Mencintai Buku

Judul Buku : Aku & Buku #2 Perempuan-perempuan yang Mencintai Buku
Editor : Ale Siregar, dkk.
Penerbit : Radio Buku, Jogjakarta
Cetakan : I, Oktober 2016
Tebal : 169 halaman
ISBN : 978-979-1436-40-3
Dipublikasikan oleh http://www.wasathon.com/kisah-perempuan-perempuan-pecandu-buku/

Membaca dan menulis buku merupakan pengayaan eksistensial yang memberi jalan lapang bagi masa depan. Meski tak mudah, 19 perempuan dalam kisah buku ini secara konsisten menangkap dan memilah ribuan peristiwa yang dicandra, merunutnya dalam hubungan-hubungan yang logis, serta memberinya makna baru dalam parade kata-kata. Tidah mudah karena dalam satu sekuensi waktu mereka harus berbagi antara pekerjaan dan membaca (menulis) buku.
Inilah cerita 19 perempuan tentang buku. Kisah bagaimana buku memengaruhi pikiran dan langkah kaum perempuan dalam menghitung siasat sebagai upaya peningkatan kesadaran mereka tentang arti hidup dan kehidupan.
Apa pun profesinya, tidak lantas menghalangi perempuan-perempuan tersebut untuk menjadikan buku sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan mereka. Makanan sehari-hari mereka adalah buku. Mereka pun senang sekali melahap buku sebagai nutrisi utama ilmu pengetahuan.
Rupa-rupa judul buku telah melecutkan kenangan sedemikian indah bagi 19 perempuan penggila aksara dalam buku ini. Namun, yang memersatukan mereka adalah bacaan menjadi titirah agar berhenti sejenak, merenung, dan berpikir. Aneka bacaan menginterupsi mereka dari rutinitas harian entah sebagai editor, jurnalis, penerjemah, guru atau dosen, ibu rumah tangga, dan sebagainya untuk memasuki ruang dimensi dan pengalaman baru yang tak biasa.
Di antara sosok penggila buku itu adalah Diana AV Sasa yang masa kecilnya biasa disapa Nining. Ia puteri guru agama di desa kecil pegunungan kabupaten Pacitan. Sejak usia empat tahun, Nining telah mampu membaca maupun menulis Latin dan Arab (hal.55). Kebiasan membaca dan menulis mengantarkanya menyabet berbagai kejuaraan lomba mengarang hingga menjadi salah satu kontributor dalam buku Para Penggila Buku.
Kecintaan terhadap buku juga ditunjukkan Maftuhah Hamid, perempuan yang awalnya tertarik dengan jurnalistik, namun kemudian berbelok ke dunia penyuntingan di dua penerbit. Bagi seorang editor seperti Maftuhah, membaca buku adalah mahar yang tidak bisa ditawar (hal.99). Dalam sebuah rumah penerbitan, editor memang orang yang mengurusi ’dapur’ penerbit. Dialah yang mengolah sebuah naskah dari penulis untuk ’digoreng’ atau ’direbus’ hingga naskah itu menjadi olahan buku yang lezat disantap oleh pembaca.
Cerita Ninik Riwantolo (Bu Ninik) dalam buku ini tak kalah menarik. Sebagai seorang ibu rumah tangga biasa, Bu Ninik tidak pasrah begitu saja sebagai ”konco wingking”. Dari kegemaran membaca sejarah perempuan masa lalu, Bu Ninik mendapat suntikan spirit dalam memaknai arti pembebasan terhadap kaum perempuan. Bagi perempuan pengagum Cut Nyak Dien dan R.A. Kartini itu, membaca buku telah membentuk pola pikir dan kepribadiannya selama ini (hal.108).
Menyimak kisah Aku dan Buku #2: Perempuan-perempuan yang Mencintai Buku hampir serupa dengan kisah R.A. Kartini. ”Sebagai pengarang, aku akan bekerja secara besar-besaran untuk mewujudkan cita-citaku, serta bekerja untuk menaikkan derajat dan peradaban rakyat kami.” Begitulah ungkapan optimistik R.A. Kartini di akhir abad 19 yang kemudian memicu bibit-bibit keberanian dan kepercayaan diri kaum perempuan masa itu.
Toh begitu, tidak banyak perempuan yang berkesempatan mendapatkan anugerah kenikmatan ketika membaca buku. Terlebih di era media sosial seperti sekarang, tatkala katup informasi terbuka bebas tanpa batas, membaca buku-buku bermutu masih merupakan peluang yang sangat langka dengan berbagai dalih yang mengiringinya. (Peresensi: AHMAD FATONI/ Pengajar PBA Universitas Muhammadiyah Malang/WASATHON.COM)


Memahami dan Menanggulangi Terorisme

Judul Buku  : Memahami Terorisme; Sejarah, Konsep, dan Model
Editor    : Jajang Jahroni dan Jamhari Makruf
Penerbit    : Kencana Bekerja sama PPIM UIN Jakarta
Cetakan    : I, Desember 2016
Tebal    : 183 halaman
ISBN    : 978-602-422-043-3
Peresensi    : Ahmad Fatoni
Pengajar PBA Fakultas Agama Islam UMMDipublikasikan oleh Bhirawa Online
Link http://harianbhirawa.com/2017/05/memahami-dan-menanggulangi-terorisme/

Saat mendengar istilah “terorisme” banyak orang yang langsung mengaitkannya dengan agama Islam. Padahal fenomena terorisme bukanlah monopoli satu agama atau bangsa tertentu. Bahkan tindakan terorisme yang mengatasnamakan suatu agama tidak serta merta ia sepenuhnya muncul karena ajaran agama tersebut.
Dalam konteks buku ini, terorisme muncul lebih karena faktor-faktor struktural yang melingkupi suatu komunitas, ketimbang tafsir tertentu atas ajaran agama. Kendati demikian, pada gilirannya nanti tafsir tersebut diperalat untuk melegitimasi gerakan teror yang dilakukan. Pada titik inilah orang sering mengambil kesimpulan ceroboh bahwa tindak terorisme lahir karena paham agama.
Terorisme sesungguhnya fenomena yang cukup tua dalam sejarah. Menakut-nakuti, mengancam, memberi kejutan kekerasan atau membunuh dengan maksud menyebarkan rasa takut adalah taktik-taktik yang sudah melekat dalam perjuangan kekuasaan, jauh sebelum hal-hal itu dinamai “terorisme”.
Mengutip Bassiouni, seorang ahli hukum internasional, terorisme adalah: “Tindakan kekerasan yang secara internasional terlarang di mana tindakan ini dilandasi motivasi ideologi untuk menciptakan rasa teror pada seluruh atau sebagian masyarakat dalam rangka mendapatkan kekuatan atau propaganda atau kerugian, terlepas apakah pelaku bertindak untuk dan atas nama pribadi atau negara.” (hal.xvi).
Sebagai fenomena global yang mengancam tatanan dunia, semua negara turut dalam barisan menolak terorisme. Terorisme tidak saja telah mengancam perdamaian dunia, terutama kaamanan, tetapi juga dapat menghancurkan dimensi ekonomi, sosial dan masa depan pemerintahan sebuah negara. Negara-negara yang tidak dapat menyelesaikan masalah terorisme secara efektif akan dicap sebagai ‘negara gagal’, negara yang tidak mampu memanfaatkan otoritas yang dimilikinya.
Pada sisi lain, kampanye global melawan terorisme yang dipimpin oleh Amerika Serikat justru meletakkan negara-negara di dunia ke dalam dua kubu yang cenderung bertentangan satu sama lain: either you are with us, or against us. Pengkubuan ini jelas kian memperkeruh suasana sebab tindak pencegahan terorisme senyatanya diupayakan oleh setiap negara demi melindungi warganya terlepas apakah mereka masuk dalam kubu Amerika Serikat atau tidak.
Secara garis besar buku hasil karya para peneliti UIN Jakarta ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, memaparkan konsep-konsep dasar terorisme. Beberapa hal seperti motif pelaku terorisme, siapa sasarannya, hingga bagaimana terorisme muncul dalam lintasan sejarah dibahas tuntas dalam bagian ini. Bagian kedua, mengurai konsep-konsep pencegahan dan pemberantasan terorisme, baik yang terjadi di dunia nyata maupun dunia virtual.
Sebagai bagian dari fenomena sosial, terorisme kini berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Cara-cara yang digunakan untuk melakukan kekerasan dan ketakutan juga semakin canggih seiring dengan kemajuan teknologi modern. Proses globalisasi dan budaya massa menjadi lahan subur pertumbuhan terorisme.
Karena itu, pada Bab “Terorisme dan Dunia Virtual” dalam buku ini dijelaskan bagaimana cara-cara penanganan digital jika menemukan tindakan terorisme di ruang virtual. Terorisme yang menggunakan internet umumnya memiliki banyak anggota yang tersebar di seluruh dunia. Bahkan, bila diumpamakan sebagai franchise, kelompok terorisme di dunia maya mempunyai banyak cabang (hal.134).
Beberapa contoh kelompok terorisme siber adalah kelompok yang berhasil meretas database milik pemerintah, menyebar virus komputer yang mematikan maupun melakukan spam flooding. Berdasarkan sebuah laporan, misalnya, para peretas memodifikasi para pasien di database sebuah rumah sakit yang menyebabkan jatuhnya banyak korban jiwa karena salah menerima golongan darah saat dilakukan transfusi darah.
Para teroris yang mengunakan internet telah memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi ini sebagai corong baru untuk menyebarkan ketakutan atau propaganda. Dengan kecepatan penyebaran informasi yang disediakan internet, mereka berharap agar dunia internasional bingung dan mau menuruti ambisi mereka.
Tentu, segala jenis tindakan terorisme tidak dapat dibenarkan, baik di dunia nyata maupun di dunia virtual. Negaralah yang paling bertanggung jawab dalam membendung kejahatan terorisme. Namun, selain negara, partisipasi masyarakat pun penting dalam proyek penanggulangan tindak kejahatan terorisme demi terwujudnya perdamaian dunia.

Pedoman Penerjemahan Arab Indonesia

Judul Buku     : Pedoman Penerjemahan Arab Indonesia
Penulis          : M. Zaka Al Farisi, M.Hum
Penerbit        : Remaja Rosdakarya, Bandung
Cetakan        : I, September 2011
Harga            : Rp 47, 500/-
Tebal             : 256 halaman
Peresensi      : Ahmad Fatoni*)

Dipublikasikan oleh Hidayatullah


MENERJEMAHKAN sebuah teks bukanlah semata-mata pesoalan mengalihkan kata demi kata dari bahasa sumber ke bahasa target. Menerjemahkan berarti menghadirkan pesan secara ekuivalen. Sebab ada amanat yang harus disampaikan kepada pembaca. Tugas ini tentu tidak mudah. Alih-alih menyampaikan amanat, yang terjadi malah tindak khianat. Itu kalau pesan tidak tersampaikan secara akurat.

Esensi penerjemahan sesungguhnya menyampaikan amanat (gagasan, pemikiran, perasaan) dari bahasa sumber ke bahasa target secara utuh, baik bentuk maupun makna kepada pembaca. Jangan sampai pembaca teks terjemahan menerima amanat sepotong-sepotong, sehingga menimbulkan kesalahpahaman. Terlebih terjemahan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia yang berkenaan langsung dengan khazanah keislaman. Jika terjemahannya berkualitas buruk bisa berakibat fatal.

Memang tak dapat dimungkiri, setiap bahasa memiliki keunikannya masing-masing dengan fitur-fitur budaya yang menyertainya. Keunikan inilah yang menyebabkan sesuatu menjadi muskil dalam menghasilkan terjemahan yang ideal. Celakanya lagi, upaya menghadirkan terjemahan yang bermutu terkadang harus “memerkosa” struktur dan kultur satu bahasa. Akibatnya, teks terjemahan yang dihasilkan banyak dipandang sebagai “anak haram” yang sulit diterima khalayak.

Kiranya itulah hajat buku Pedoman Penerjemahan Arab Indonesia ini diterbitkan agar penerjemah dapat bertindak cermat. Dalam hal ini aspek makna harus menjadi prioritas utama, setelah itu barulah aspek gaya bahasa. Makna adalah aspek terdalam yang ada dalam bahasa. Makna inilah sebetulnya yang menjadi acuaan setiap terjemahan.
Selain itu penulis juga menegaskan, penerjemahan (dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia, misalnya) bukan sekedar pesoalan bahasa, tetapi juga menyangkut masalah budaya. Karena itu, penerjemah sejatinya adalah seorang bilingual sekaligus bikultural.

Sebab teks sumber dan teks target memilki warna budaya dan bahasa yang berlainan. Penguasaan aspek-aspek linguistik, seperti morfologi, sintaksis, leksikon, senyatanya ditunjang dengan pemahaman budaya yang baik.
Penerjemah yang tidak menyelami sosio-kultural bangsa Arab akan menjadi problem tersendiri. Banyak ungkapan-ungkapan, istilah-istilah, dan nama-nama benda yang terdapat dalam bahasa Arab tidak mudah dipahami. Sekadar contoh,  ungkapan: “qabla ar-rima’ tumla’u al-kanain”. Terjemahan harfiyahnya adalah “sebelum memanah, penuhi dulu tempat anak panah.” Peribahasa ini dalam bahasa Indonesia bisa dimaknai dengan peribahasa “sedia payung sebelum hujan.”

Peribahasa tersebut berkaitan dengan latar belakang sosio-kultural orang Arab dahulu yang sering mengadakan perang. Sedang bangsa Indonesia sering mengalami musim hujan. Pengetahuan penerjemah seputar sosio-kultural jazirah dipandang penting agar dapat mempercepat pemahaman pembaca ketika membaca hasil terjemahnnya.
Kegagalan penerjemah biasanya disebabkan ketidaktahuannya dalam menangkap makna dari teks sumber. Boleh jadi ia bisa menangkap makna, tetapi keliru menyampaikan makna tersebut ke dalam bahasa target. Jika demikian, seorang penerjemah dianggap telah berkhianat. Karena itu, terjemahan yang buruk, terlebih dari dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia, tidak hanya penerjemahnya yang tersesat, tapi juga menyesatkan banyak orang.

Akhir kata, upaya menghasilkan terjemahan yang baik idealnya mencerminkan tiga sisi kualitas, yaitu keakuratan, kejelasan, dan kewajaran. Akurat artinya terjemahan harus mengungkap amanat teks sumber secara utuh; jelas berarti mudah dipahami pembaca; dan maksud wajar di sini ialah mempuyai kesan alamiah, sehingga sebuah terjemahan tak terasa sebagai terjemahan.

Secara praktis buku ini akan memandu pembaca bagaimana mendalami strategi, metode, prosedur, dan teknik penerjemahan yang tepat. Buku setebal 256 halaman  ini layak dijadikan rujukan terutama bagi para (calon) penerjemah Arab-Indonesia hingga karya terjemahan yang dihasilkan dapat menyampaikan makna bahasa target yang paling dekat dengan makna dari bahasa sumbernya.


Komunikasi Politik dan Politik Komunikasi

Judul Buku     : Komunikasi Politik dan Politik Komunikasi
Penulis           : Prof. Deddy Mulyana, M.A. Ph.D
Penerbit         : Remaja Rosdakarya, Bandung
Cetakan         : I, September 2013
Tebal              : xiii+330 halaman
Harga             : Rp 60.500,-

Dalam teori komunikasi massa, baik melalui media maupun langsung, suatu hal yang baik jika diekspos terlalu sering dan eksesif akan menimbulkan ‘kebosanan informasi’. Pemberitaan over-exposed setiap hari akan mengakibatkan rutinitas yang menyesakkan dan rasa muak khalayak.
Sekadar contoh, iklan Aburizal Bakrie (ARB) di baliho dan poster di seluruh pelosok negeri dari Sabang sampai Papua ternyata tidak meningkatkan elektabilitasnya. Demikian pula iklannya di TV yang sedemikian gencar, hingga terkesan mengeksploitir kedaulatan massa, tidak mampu mendongkrak elektabilitas ARB. Ini jelas menimbulkan pertanyaan pengamat komunikasi massa.
Sebaliknya, dari sisi teori komunikasi massa, reputasi Gubernur Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dianggap telah mengganggu popularitas seluruh capres yang sudah dicalonkan oleh partai politik. Dari mulai Prabowo sampai capres deklarasi sendiri semacam Farhat Abbas kelimpungan mencari titik lemah Jokowi untuk diserang.
Buku ini mengungkap fenomena politisi dalam berkomunikasi dan bagaimana mereka mengemas strategi demi mencapai tujuan politiknya yang sering mengabaikan etika komunikasi. Padahal, untuk melakukan komunikasi politik yang efektif justru duperlukan kejujuran dan ketulusan dalam berkomunikasi, mempertimbangan latar sosio-budaya khalayak dan menggunakan bahasa yang jernih.
Kenyataannya, komunikasi politik di Indonesia tergolong politik paling aneh, paling absurd, paling unik, dan sekaligus paling sulit diprediksi. Terlebih menjelang Pemilu, politik lokal maupun politik nasional, bercampur dengan klenik.
Deddy menyebut kegaduhan politik semakin menjadi-jadi kala anomali politik kian bertebaran di sana sini. Misalnya, banyak kasus korupsi yang menerpa pejabat publik akibat menerapkan ”politik kuasa”, seorang wakil rakyat berplesir ke luar negeri atas nama studi banding atau seorang gubernur memperluas kekuasaannya kepada suami, adik, atau keponakan.
Hanya di Indonesia, politisi kawakan bisa keok oleh seorang artis yang menjadi pendatang baru untuk mendongkrak popularitas partai. Tak cuma itu, anomali juga berlangsung dalam konteks kampanye politik dan pemilu. Kampanye dan pemilu politik di negeri ini terus diwarnai jual beli suara dan kekerasan.
Dengan menyoroti berbagai anomali tersebut, menurut Deddy, definisi komunikasi politik di Indonesia lebih cocok bila dikonseptualisasikan sebagai komunikasi politik yang dinamis, mudah berubah, rumit, dan bahkan sulit diprediksi.
Terlebih, komunikasi politik di negeri ini bernuansa konteks tinggi: lebih banyak pesan-pesan yang tersirat daripada yang tersurat, termasuk pesan dalam bahasa tubuh, busana, dan diam. Suara mendehem Pak Harto yang membuat takut bawahannya, sikap diam Bu Megawati yang memancing multitafsir, baju kotak-kotak Jokowi saat Pilkada DKI Jakarta yang mengesan kesederhanaan, semua itu merupakan komunikasi politik yang pelik.
Dalam perjalanannya, kajian komunikasi politik selalu menggunakan perspektif linier yang berorientasi pada efek dan pesan politik harus sampai ke khalayak politik. Sementara Deddy mencoba menggunakan perspektif interpretatif sehingga menjadikan buku ini menarik untuk disimak baik oleh akademisi, praktisi politik, dosen dan mahasiswa, hingga masyarakat umum.
Ada empat bab yang menjadi pembahasan dalam buku ini. Pertama, melihat berbagai anomali politik yang dipertontonkan para praktisi politik. Kedua, menyoroti komunikasi wakil rakyak di media. Ketiga, membincang politik bahasa kaum penguasa. Keempat, menimba komunikasi politik dari luar negeri.
Kendati pembahasannya terlalu melebar ke mana-mana, buku Komunikasi Politik dan Politik Komunikasi ini cukup unik dan menarik sebab penulisnya mencoba mendedah gaya komunikasi para praktisi politik dalam mempengaruhi massa serta pemanfaatan media sebagai senjata pencitraan. Dengan kekuatan analisis mendalam, menjadikan karya ini layak dibaca. ***

Peresensi Ahmad Fatoni

Rabu, 04 Oktober 2017

Negeri Belanda di Mata Orang Madura

Refrein di sudut DAM
Judul Buku : Refrein di sudut DAM
Pengarang : D Zamawi Imron
Kategori : Bahasa & Sastra
No. ISBN : 978-979-796-175-6
Halaman : 102
Cetakan : pertama
Ukuran : 16 cm x 23 cm
Harga     
:

Rp. 35.000,-
Peresensi : Ahmad Fatoni, Penyair dan Pengajar UMM


DALAM berbagai kesempatan, D. Zawawi Imron sering kali ditanya, “masih menulis puisi?” Pertanyaan yang membuat “Si Celurit Emas” terkadang merasa kikuk sendiri. Ada semacam sindiran, mengingat umurnya sudah melewati 60 tahun dianggap tidak pantas lagi jika masih menulis puisi. Akan tetapi, sangat boleh jadi, itu pertanda masih banyak orang yang mengharap penyair asal Madura itu terus menulis puisi.
Apa pun tafsir dari pertanyaan orang, Zawawi cuma tersenyum bangga bahwa hidupnya masih dikaitkan dengan puisi. Melalui puisi, penyair yang mengakrabi alam dan budaya Madura ini tidak berhenti belajar menyelami jiwa kemanusiaan dan ayat-ayat Tuhan. Lewat puisi ia ingin bermetamorfosis menjadi manusia paripurna.
Memang puisi bukan segala-galanya. Namun bagi Zawawi, puisi adalah salah satu jendela untuk menerawang denyut nadi kehidupan. Tentu di sana ada jendela-jendela lain yang tak boleh ditinggalkan. Yang pasti, puisi tak sepatutnya bila hanya sebatas nyanyian yang lahir dari kepedihan jiwa atau senyuman bibir belaka, demikian kata Kahlil Gibran.
Melalui jendela antologi puisi ini, Zawawi coba memotret negeri Kincir Angin. Kendati pernah menjajah bangsa pribumi selama ratusan tahun, Belanda masa kini begitu menarik hati setiap peziarahnya. Zawawi pun rupanya tergoda dengan etos keilmuan, profesionalisme, dan kedisiplinan orang-orang Belanda. Gedung-gedungnya tampak berdiri kokoh tak tertandingi, kebersihan seolah menjadi cerminan bahasa penghuninya, hingga kegemaran bersepeda tanpa merasa rendah diri.
Sajak-sajak yang terekam dalam kumpulan puisi ini tidak secara keseluruhan bicara tentang manusia dan alam Belanda. Tetapi puisi-puisi tersebut tidak mungkin ditulis tanpa berkunjung ke sana. Selain apa yang Zawawi lihat dan hayati, juga ada semacam gelegak batin yang dibawa dari tanah air yang tiba-tiba mengharubiru dan berdesakan untuk dituangkan dalam untaian kata-kata.   
Sebagai anak asli pribumi, meski sedang melancong ke luar negeri, kerinduan Zawawi selalu lekat dengan keindahan alam perkampungan seperti lambaian pohon siwalan, desir angin pesisir, pekik bekisar dan ricik air  di sungai, juga kebersahajaan irama hidup kaum petani, tukang becak, penjual nasi pecel, dan penghidang soto daging.
Aneka gemerlap panorama dan peristiwa yang tersaji di Belanda tidak lantas mengerdilkan cinta sang penyair akan kampung halaman dan ibu kandungnya: …..Ibu dan kampung selaksa kilometer jauhnya/ tapi terasa berbatas tabir saja/ segenap keasingan akan lebur/ dengan menyemai cinta ke hati salju…(Refrein di Sudut Dam, hal.25). Betapa sayangnya Zawawi kepada ibu dan kampung halamannya, hingga ke mana pun berkelana, keduanya selalu meronta-ronta di bawah alam sadarnya.
Alih-alih bermaksud ingin menjadi Belanda, puisi-puisi Zawawi tentang negeri Belanda kian mempertegas kebanggaannya sebagai orang Indonesia. Penyair yang pernah meraih Hadiah Sastra Asia Tenggara atau South East Asia Write  Award 2011 lalu, tidak pernah bernafsu menjadi orang lain yang bukan dirinya. Keteguhan sikap Zawawi sungguh menohok kesadaran banyak orang agar tidak terlalu silau dengan budaya orang lain atau merasa inferior dengan khazanah budaya sendiri.    
Tanpa melupakan tragedi kemanusiaan masa lalu, Zawawi sangat menikmati kehangatan senyum orang-orang Belanda. Selama kunjungannya ke Belanda, penyair kelahiran Madura, 21 September 1943, itu menemukan sahabat-sahabat super yang tulus nan jauh dari kepentingan materi. Penjajahan Belanda atas nenek moyang memang sudah berlalu, namun penistaan atas kemanusiaan selalu muncul di muka bumi dengan bentuknya yang baru. Zawawi rupanya tidak ingin larut dalam dendam sejarah, tetapi akan tetap mengutuk setiap penindasan, baik yang dulu, sekarang, maupun yang akan datang. Menyimak puisi-puisi Zawawi sulit terlepas dari konteks sosial yang mengitari, bahkan tidak mungkin dipisahkan dari karakter Zawawi sebagai orang Madura yang tidak mudah menggadaikan harga diri di tengah pergaulan internasional sekalipun.
Mengutip kata pengantar Ketua Pusat Studi Islam dan Filsafat UMM, Pradana Boy, pembaca buku ini setidaknya akan menangkap dua pelajaran penting. Pertama, Zawawi mengajarkan tentang kerterbukaan dalam menerima keragaman. Ambil misal, bagaimana perjalanan Zawawi ke Eropa telah merekam perjumpaannya dengan seorang gadis negro di sebuah trem yang bertolak menuju Den Haag: Dalam lanjut menuju Den Haag/ Mata teduh itu jadi warna gelapnya malam/ yang menggali kedalaman dan memekarkan kejauhan/ Ada sejenis sorga/ di balik sepasang alisnya/ Membuat puisi tak fasih bicara (Bertemu Gadis Negro, hal.21).
Sangat boleh jadi, Zawawi hendak mengajak pembaca untuk memahami dunia multikultur dan kosmopolit, sebuah ruang budaya yang mampu menembus sekat-sekat geografis dan etnis. Manusia saling berkumpul demi suatu ambisi, yakni hasrat berjumpa dengan sesama manusia guna memuliakan kemanusiaan manusia. Hal ini terendus dari puisi pujian setinggi langit saat bertatap muka dengan seorang gadis negro.
Poin kedua, dalam puisi-puisi Zawawi di sini menguar aroma profetik yang cukup kuat. Dalam kemasan bahasa yang matang, Zawawi selalu menyisipkan pesan-pesan Ilahiyah, antara lain, tercermin dalam larik: Mereka menuang anggur/ merah hitam warnanya/ Aku menuang air yang jernih/ bagai air siwalan muda/ Setelah tiba saatnya/ gelas-gelas bersentuhan di udara/ Ting, bunyinya. Kami semua minum/ Persaudaraan memekarkan senyum....(Ramah Tamah, hal.5). Cara Zawawi meminum air putih menggambarkan kebijaksanaan profetik tanpa usil terhadap perilaku orang lain yang tidak sepaham dengan keyakinan agamanya. 
Begitu banyak butiran hikmah yang tersimpan dalam puisi-puisi Zawawi. Namun, sayangnya, ada sedikit jenuh menatap sampul buku ini dengan warna gelap dan tulisan judul yang tampak kaku. Ukuran kertasnya juga terlalu lebar seperti buku pelajaran anak sekolah. Buku ini akan lebih menarik bila dilampiri dengan foto atau gambar-gambar tentang pesona negeri Belanda. 

(Dimuat Jawa Pos, 1 Januari 2017)