Sabtu, 28 Oktober 2017

Muhaddits Nusantara Pertama Bernama At-Tarmasi



Judul               : Muhammad Mahfudz At-Tarmasi Ulama Hadits
                          Nusantara Pertama   
Penulis            : Dr. Muhajirin, M.A.
Penerbit          : Idea Press, Yogyakarta
Edisi               : April 2016
Tebal               : 128 halaman
ISBN              : 978-602-0850-28-3
Peresensi        :Ahmad Fatoni, Pengajar Bahasa Arab Universitas Muhammadiyah Malang


SEJAK terjalinnya hubungan inetelektual antara ulama Nusantara dengan ulama Makkah, tidak satu pun ulama Nusantara yang dikenal sebagai muhaddits (ahli hadits). Kendati tidak sedikit dari mereka yang sudah menuangkan karyanya di bidang hadits, tetapi gelar yang disandangkan bukan sebagai ahli hadits, melainkan ahli fiqih, bahasa, tarekat dan tasawuf.
Adalah Muhammad Mahfuzh ibn Abdillah ibn Abdul Mannan At-Tarmasi (1868-1919 M) adalah seorang ulama yang menyandang gelar muhaddits pertama asal Nusantara. Ia mendapat ijazah pengajaran Shahih Bukhari yang isnadnya bersambung ke Imam Bukhari. Bahkan, salah satu karyanya di bidang hadits membuatnya mendapat julukan Pembangkit Ilmu Dirayah Hadits.
Buku ini menginformasikan kepada pembaca akan kelayakan gelar yang dimiliki At-Tarmasi, berikut petualangan ilmiahnya sejak kecil hingga menjadi pengajar hadits ternama di Masjidil Haram, beberapa pesantren yang disinggahinya, peran dan kontribusinya terhadap pengajaran hadits di Nusantara serta segala sesuatu yang mengitari pribadi maupun keluarganya.
Para sejarawan sepakat bahwa At-Tarmasi dilahirkan di Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Soal tanggal lahirnya, terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan beliau lahir pada 12 Jumadil Ula 1285 H/12 Agustus 1842 M, ada pula yang mengatakan beliau lahir pada 6 Shafar 1280 H.
Adapun “At-Tarmasi” adalah nisbat kepada Tremas, Pacitan, Jawa timur. Saat At-Tarmasi lahir, ayahnya masih di Makkah sehingga ia dibesarkan oleh ibunya dan saudara-saudara ibunya. Dalam buaian mereka, At-Tarmasi kecil berhasil hafal Al-Qur’an dan pendidikan agama dasar dari para ulama Jawa.
At-Tarmasi pernah bilang, “Tremas adalah desa kelahiranku dan aku menghabiskan masa remajaku di sana hingga usia 13 tahun. Kemudian aku pergi ke Makkah untuk menunaikan haji.” Lalu, beliau tinggal di sana dan menerima berbagai ilmu dari para ulamanya.
Pada tahun 1291 H, orang tuanya, Syekh Abdullah At-Tarmasi, mengajaknya ke Makkah dan mengajarinya beberapa kitab, lalu ia kembali lagi ke Jawa. Di Jawa, ia pergi ke Semarang dan belajar kepada Syekh Sholeh bin Umar Darat. Lalu, ia kembali lagi ke Makkah dan mengaji kepada ulama-ulama hadits ternama di sana hingga menjadi ahli dalam hadits dan ilmu hadits. Akhirnya, gurunya Sayyid Bakar Syatha memberikan wewenang untuk mengajar di Masjidil Haram di pintu Shafa.
Banyak para ulama yang lulus dari didikannya, di antaranya, Syekh Hasyim Asy’ari Jombang pendiri pondok Tebuireng dan Syekh Bisri Syamsuri pendiri pondok Denanyar, Syekh Abdul Muhith bin Yakub Sidoarjo Surabaya. Mereka inilah yang para pelopor berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama pada tahun 1926 M.
Selain keahliannya di bidang hadits, At-Tarmasi juga dikenal sebagai pakar fiqih, ushul fiqih, dan ilmu qiraah. Dalam penulisan karya, ia memiliki keistimewaan dari sisi kompetensi dalam menyelesaikan karyanya dalam waktu yang amat singkat. Kitab Minhaj Dzawi an-Nazhar, misalnya, ia  selesaikan hanya dalam 4 bulan dan 14 hari.
At-Tarmasi sempat pula berguru kepada banyak ulama pada zamannya, dan mereka adalah orang-orang yang sangat mendalam ilmu dan pengetahuannya. Pada awalnya ia berguru kepada ayahnya, yaitu Al-Faqih Abdullah bin Abdul Manan At-Tarmasi dalam kitab Syarh Al-Ghayah (Taqrib) karya Ibnu Qasim Al-Ghazi, Al-Minhaj Al-Qawim, Fath Al-Mu’in, Fath Al-Wahab, Syarh Asy-Syarqawi ‘ala Al-Hikam, Tafsir Al-Jalalain dari surah Al-Fatihah sampai surah Yunus.
Demikian guru-guru At-Tarmasi. Namun di antara para ulama tersebut, orang yang paling berpengaruh dari sisi kepakarannya dalam fiqih adalah Syekh Abu Bakar Muhammad Syatha penulis I’anah Ath-Thalibin Syarah Fath Al-Mu’in.
Menelaah hasil penelitian Dr. Muhajirin dalam buku ini sesungguhnya memertegas teori tentang pengaruh Makkah dalam proses islamisasi Nusantara. Artinya, Islam di Nusantara tidak bisa lepas dari gagasan dan praktik keagamaan di Masjidil Haram. At-Tarmasi dan beberapa ulama besar asal Nusantara yang menimba ilmu di Makkah telah berperan besar dalam transmisi keilmuan kepada generasi berikutnya sekaligus mewarnai perkembangan dan pembaruan Islam di bumi Nusantara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar