Sabtu, 31 Maret 2018

Jejak Sejarah Peradaban Ekonomi Islam




Judul Buku   : Peradaban Ekonomi Islam.
Penulis         : Dr. Yadi Janwari, M.A.
Penerbit       : Remaja Rosdakarya, Bandung
Cetakan        : I, November 2018
Tebal            : 278 halaman
Peresensi     : Ahmad Fatoni,
               Pengajar PBA-FAI Universitas Muhammadiyah Malang.
 

KENDATI peradaban ekonomi Islam merupakan rangkaian sejarah yang sangat panjang, namun sangat jarang ditemukan tulisan tentang sejarah ekonomi Islam. Hal ini terlihat buku-buku sejarah peradaban Islam justru lebih didominasi sejarah politik. Buku Peradaban Ekonomi Islam ini selain akan memaparkan sejarah pemikiran ekonomi Islam juga  akan menyingkap kontribusi ekonomi Islam masa klasik terhadap kebangkitan ekonomi modern.

Menurut Yadi Janwari, pemikiran para pemikir muslim senyatanya telah merespons tantangan-tantangan ekonomi dari masa ke masa. Pemikiran ekonomi Islam tersebut diilhami dan dipandu  oleh ajaran Al-Quran dan Sunnah juga oleh pemikiran dan pengalaman empiris mereka. Bahkan, sangat banyak ilmuwan muslim klasik yang memiliki pemikiran ekonomi yang amat maju melampaui ilmuwan-ilmuwan Barat.
Sejarah mencatat Ilmuwan muslim di era klasik telah banyak menulis dan mengkaji ekonomi Islam tidak saja secara normatif, tetapi juga secara empiris dan ilmiah dengan metodologi yang sistematis, seperti buku Ibnu Khaldun (1332-1406)  dan Ibnu Taymiyah, bahkan Al-Ghazali (w. 1111). Selain itu masih banyak ditemukan buku-buku yang khusus membahas bagian tertentu dari ekonomi Islam, seperti Kitab Al-Kharaj karangan Abu Yusuf (w. 182 H/798 M), Kitab Al-Kharaj karya Yahya bin Adam (w.203 H), Kitab Al-Kharaj buah pemikiran Ahmad bin Hanbal (w.221 M). (hal.15).
Buku-buku tersebut sarat dengan kajian ekonomi, seperti kebijakan moneter, fiskal (zakat dan pajak), division of labour, fungsi uang, mekanisme pasar, monopoli, perburuhan, pengaturan usaha individu dan perserikatan, lembaga keuangan (baitul mal), syairafah (semacam Bank Devisa Islam). Mereka juga ada yang membahas kajian ekonomi murni, seperti ekonomi sosial dan ekonomi politik.
Terutama pada masa Dinasti Abbasiyah, peradaban Islam sempat mengalami kemajuan yang luar biasa, yang kemudian dikenal dengan istilah The Golden Age. Namun sempat pula mengalami keterpurukan dalam jangka waktu yang berabad-abad lamanya. Ekonomi Islam sebagai mata rantai dari perjalanan sejarah, tentu saja mengalami fluktuasi sebagaimana sejarah peradaban Islam pada umumnya.
Pasca jatuhnya Dinasti Abbasiyah, pemikiran ekonomi Islam berada di bawah penetrasi kolonialisme Barat. Kejatuhan Dinasti Abbasiyah ke tangan bangsa Mongol pada tahun 1258 diakui sebagai fase kemunduran Islam. Dunia Islam tidak lagi memiliki kekuatan untuk memngaruhi gejolak perekonomian dunia. Selama 5 abad dunia Islam mengalami kemunduran, baik secara politik, ekonomi, dan aspek lainnya.  Masa kemunduran itu berkembang menjadi masa kehancuran pada abad ke-18 M.
Baru sejak pertengahan abad ke-20 M, di dunia Islam mulai tumbuh keinginan untuk bangkit dari keterburukan. Dalam tiga decade belakangan, kajian dan penelitian ekonomi Islam kembali berkembang. Berbagai forum internasional tentang ekonomi Islam telah sering dan banyak digelar di berbagai negara, seperti konferensi, seminar, simposium, dan workshop.  Puluhan para doktor dan profesor ekonomi Islam yang ahli dalam ekonomi konvensional dan syariah, tampil sebagai pembicara dalam forum-forum tersebut. (hal.233).
Dari kajian mereka ditemukan bahwa teori ekonomi Islam, sebenarnya bukan ilmu baru ataupun ilmu yang diturunkan secara mendasar dari teori ekonomi modern yang berkembang saat ini. Fakta historis menunjukkan bahwa para ilmuwan Islam zaman klasik, bahkan sejak zaman Rasulullah, adalah penemu dan peletak dasar semua bidang keilmuan, termasuk ilmu ekonomi.
Akan tetapi, apresiasi para sejarawan dan ahli ekonomi terhadap kemajuan kajian ekonomi Islam terkesan mengabaikan jasa-jasa ilmuwan muslim. Hal itu tampak pada buku-buku sejarah pemikiran ekonomi yang ditulis pakar ekonomi Barat maupun Indonesia. Celakanya lagi, banyak karya-karya ilmuwan Barat yang sengaja menyembunyikan peran ilmuwan Islam dalam mengembangkan  pemikiran ekonomi.
Buku semisal Perkembangan Pemikiran Ekonomi  (1995) tulisan Deliarnov, sama sekali tidak memasukkan  pemikiran para ekonom Muslim di abad pertengahan. Padahal sangat banyak ilmuwan muslim klasik yang memiliki kontribusi pemikiran ekonomi bagi perkembangan ekonomi modern. Demikian pula buku History of Economics Analysis (1954) karya Schumpeter, juga mengesampingkan jasa pemikiran ekonomi para pemikir ekonomi Islam.
Seiring perjalanan sejarah, jatuh bangunnya peradaban ekonomi Islam mengikuti peradaban umat Islam itu sendiri. Buku ini mencoba menelusuri jejak sejarah peradaban ekonomi Islam, khususnya pada masa keemasan Islam pada abad ke-8 s.d. ke-13 M dan masa kebangkitan Islam pada abab ke-20 M. Kajian Ketua Prodi Magister Ekonomi Syariah Pascasarjana UIN Bandung tentang peradaban ekonomi Islam ini sangat menarik untuk disimak oleh masyarakat akademik maupun masyarakat luas. (Resensi atas buku: "Peradaban Ekonomi Islam" di harian Malang Post, Minggu 1 April 2018). https://malang-post.com/ragam/budaya/jejak-sejarah-peradaban-ekonomi-islam

Menelusuri Belantara Kajian Islam di Nusantara

Judul Buku   : Islam dan Transformasi Islam Nusantara
Penulis          : Moeflich Hasbullah
Penerbit        : Kencana, Jakarta
Cetakan         : I, September 2017
Tebal              : xix + 289 halaman
ISBN               : 978-602-422-193-5
Peresensi      : Ahmad Fatoni
Pengajar PBA Universitas Muhammadiyah Malang
  
Islam Indonesia sungguh mengispirasi para ilmuwan sosial untuk mengurai simpul-simpul sejarah di dalamnya dan mengungkap kekayaan historis-religius-kulturalnya sehingga memproduksi apa yang disebut Ricklefs dan William Roff sebagai “knowledge industry.
Kenyataannya, riset-riset besar dan mendalam yang telah memengaruhi jagat ilmu pengetahuan sosial muncul dari bumi Nusantara. Ambil contoh, The Religion of Java-nya Clifford Geertz yang menjadi trade-mark dalam dunia antropologi dan Jaringan Ulama-nya Azyumardi Azra yang berpengaruh luas terhadap berbagai kajian tentang ulama Nusantara selanjutnya. Kedua karya magnum opus tersebut terus merangsang pertumbuhan diskursus Islam Indonesia hingga kini.
Selain dua karya itu, sebelum dan sesudahnya, panggung sejarah Indonesia telah mengenalkan nama-nama besar dengan aneka karya monumentalnya. Misalnya W. F. Wertheum, Schrieke, dan J. C. van Leur yang menulis Sejarah Sosiologis Indonesia, Graaf-Pigeaud yang menggarap Kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, Deliar Noer yang meneliti Gerakan Modern Islam dan Partai Masyumi, Jajat Burhanudin yang mengkaji Sejarah Ulama dan Kekuasaan, dan Yudi Latif yang menghasilkan Geneologi Intelegensia Muslim. Ada juga buku sejarah Islam yang sangat populer yaitu Api Sejarah karya Ahmad Mansur Suryanegara.      
 Buku yang dipaparkan Moeflich Hasbullah ini juga didorong oleh kehadiran Islam di bumi Nusantara. Penulis berhasil mengungkap proses transformasi masyarakat yang dipicu adanya pengaruh agama sebagai driving force dalam perubahan sosial, politik, dan budaya masyarakat Indonesia, dari masa klasik hingga masa modern.
Melalui kekuatan transformatifnya, Islam memainkan perannya yang signifikan sebagai penentu pendulum sejarah Indonesia. Begitu sentralnya peranan Islam, muncul adagium, tidak valid sebuah studi sosial, politik, dan budaya di negeri ini tanpa melibatkan pengaruh Islam di dalamnya. Bahkan transformasi Islam tidak hanya diperankan oleh gerakan-gerakan dan organisasi, namun juga oleh kekuatan-kekuatan individu terutama sosok ulama atau para tokoh agama.
Hanya, kajian sejarah mengenai islamisasi Nusantara nyaris selalu menyuguhkan kerumitan-kerumitan tersendiri mengingat Islam lahir dari rahim Timur Tengah, terutama Arab Saudi melalui transformasi agama dan budaya yang begitu kompleks. Faktor kepentingan dan subjektivitas agama dan ideologi para sejarawan adalah aspek lain yang menambah benang kusut teoretis tentang awal kedatangan Islam ke Nusantara.
Pada masa Orde Baru, misalnya, polemik terkait perode masuknya Islam pernah menghangat antara “sejarawan akademik” dan “sejarawan istana”. Latar belakang ideologis kaum abangan dalam rezim Orde Baru yang terkesan memusuhi Islam, menunjukkan usaha-usaha reduksi peranan Islam dalam sejarah Indonesia. Sejarah versi penguasa pun digoreskan lewat tangan-tangan sejarawan istana. Sekadar contoh, demi memelihara imajinasi kebesaran Hindu di masa lalu, dipromosikan propaganda kuno bahwa Indonesia disatukan oleh Sumpah Palapa Gajah Mada.
Sementara Islam dan para ulama yang berperan sebagai ikon pemersatu gerakan nasional melalui gerakan-gerakan pemberontakan selama kekuasaan kolonial, seperti diakui oleh sejarawan asing, diabaikan. Padahal organisai Sarekat Islam, contohnya, selain bersifat masif dan berskala nasional dengan jumlah anggotanya mencapai jutaan di seluruh Indonesia, pada kongres pertamanya di Bandung tanggal 17-24 Juni 1916 sudah memasyarakatkan istilah “nasional” dan memelopori tuntutan Indonesia merdeka.  
Selama ini orang lebih mengenal tanggal pengukuhan berdirinya Budi Utomo 20 Mei 1908 sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Padahal hingga kongresnya tahun 1931 di Solo, organisasi yang membatasi keanggotaannya pada kalangan aristokrat Jawa itu menolak cita-cita persatuan Indonesia dan tetap memertahankan Jawanisme hingga kemudian membubarkan dirinya karena tidak sesuai dengan semangat zaman.
Tak pelak, perseteruan antara “sejarawan akademik” dan “sejarawan istana” pun menyeruak menyangkut masuknya Islam ke Indonesia dan juga berbagai topik sejarah lain. Itu sebabnya, sebagian kalangan menyerukan “pelurusan sejarah” yang selama ini sering kali bias dan sengaja dibengkokkan.
Bagaimanapun, proses islamisasi Nusantara tetapsaja menyimpan misteri sekaligus merupakan kajian yang menantang. Keunggulan bukuini setidaknya memberi jalan bagi pembaca untuk mengoreksi atau memerkuat sebuahteori. Selain menantang, penelusuran sejarah islamisasi Nusantara demikian rumitkarena wilayah Nusantara yang sangat luas serta bukti-bukti historis yangkurang memadai. (Resensi atas buku "Islam dan Transformasi Masyarakat Nusantara" di Harian Malang Post, edisi Sabtu 24 Maret 2018). https://www.malang-post.com/ragam/budaya/menelusuri-belantara-kajian-islam-di-nusantara