Sabtu, 31 Maret 2018

Menelusuri Belantara Kajian Islam di Nusantara

Judul Buku   : Islam dan Transformasi Islam Nusantara
Penulis          : Moeflich Hasbullah
Penerbit        : Kencana, Jakarta
Cetakan         : I, September 2017
Tebal              : xix + 289 halaman
ISBN               : 978-602-422-193-5
Peresensi      : Ahmad Fatoni
Pengajar PBA Universitas Muhammadiyah Malang
  
Islam Indonesia sungguh mengispirasi para ilmuwan sosial untuk mengurai simpul-simpul sejarah di dalamnya dan mengungkap kekayaan historis-religius-kulturalnya sehingga memproduksi apa yang disebut Ricklefs dan William Roff sebagai “knowledge industry.
Kenyataannya, riset-riset besar dan mendalam yang telah memengaruhi jagat ilmu pengetahuan sosial muncul dari bumi Nusantara. Ambil contoh, The Religion of Java-nya Clifford Geertz yang menjadi trade-mark dalam dunia antropologi dan Jaringan Ulama-nya Azyumardi Azra yang berpengaruh luas terhadap berbagai kajian tentang ulama Nusantara selanjutnya. Kedua karya magnum opus tersebut terus merangsang pertumbuhan diskursus Islam Indonesia hingga kini.
Selain dua karya itu, sebelum dan sesudahnya, panggung sejarah Indonesia telah mengenalkan nama-nama besar dengan aneka karya monumentalnya. Misalnya W. F. Wertheum, Schrieke, dan J. C. van Leur yang menulis Sejarah Sosiologis Indonesia, Graaf-Pigeaud yang menggarap Kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, Deliar Noer yang meneliti Gerakan Modern Islam dan Partai Masyumi, Jajat Burhanudin yang mengkaji Sejarah Ulama dan Kekuasaan, dan Yudi Latif yang menghasilkan Geneologi Intelegensia Muslim. Ada juga buku sejarah Islam yang sangat populer yaitu Api Sejarah karya Ahmad Mansur Suryanegara.      
 Buku yang dipaparkan Moeflich Hasbullah ini juga didorong oleh kehadiran Islam di bumi Nusantara. Penulis berhasil mengungkap proses transformasi masyarakat yang dipicu adanya pengaruh agama sebagai driving force dalam perubahan sosial, politik, dan budaya masyarakat Indonesia, dari masa klasik hingga masa modern.
Melalui kekuatan transformatifnya, Islam memainkan perannya yang signifikan sebagai penentu pendulum sejarah Indonesia. Begitu sentralnya peranan Islam, muncul adagium, tidak valid sebuah studi sosial, politik, dan budaya di negeri ini tanpa melibatkan pengaruh Islam di dalamnya. Bahkan transformasi Islam tidak hanya diperankan oleh gerakan-gerakan dan organisasi, namun juga oleh kekuatan-kekuatan individu terutama sosok ulama atau para tokoh agama.
Hanya, kajian sejarah mengenai islamisasi Nusantara nyaris selalu menyuguhkan kerumitan-kerumitan tersendiri mengingat Islam lahir dari rahim Timur Tengah, terutama Arab Saudi melalui transformasi agama dan budaya yang begitu kompleks. Faktor kepentingan dan subjektivitas agama dan ideologi para sejarawan adalah aspek lain yang menambah benang kusut teoretis tentang awal kedatangan Islam ke Nusantara.
Pada masa Orde Baru, misalnya, polemik terkait perode masuknya Islam pernah menghangat antara “sejarawan akademik” dan “sejarawan istana”. Latar belakang ideologis kaum abangan dalam rezim Orde Baru yang terkesan memusuhi Islam, menunjukkan usaha-usaha reduksi peranan Islam dalam sejarah Indonesia. Sejarah versi penguasa pun digoreskan lewat tangan-tangan sejarawan istana. Sekadar contoh, demi memelihara imajinasi kebesaran Hindu di masa lalu, dipromosikan propaganda kuno bahwa Indonesia disatukan oleh Sumpah Palapa Gajah Mada.
Sementara Islam dan para ulama yang berperan sebagai ikon pemersatu gerakan nasional melalui gerakan-gerakan pemberontakan selama kekuasaan kolonial, seperti diakui oleh sejarawan asing, diabaikan. Padahal organisai Sarekat Islam, contohnya, selain bersifat masif dan berskala nasional dengan jumlah anggotanya mencapai jutaan di seluruh Indonesia, pada kongres pertamanya di Bandung tanggal 17-24 Juni 1916 sudah memasyarakatkan istilah “nasional” dan memelopori tuntutan Indonesia merdeka.  
Selama ini orang lebih mengenal tanggal pengukuhan berdirinya Budi Utomo 20 Mei 1908 sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Padahal hingga kongresnya tahun 1931 di Solo, organisasi yang membatasi keanggotaannya pada kalangan aristokrat Jawa itu menolak cita-cita persatuan Indonesia dan tetap memertahankan Jawanisme hingga kemudian membubarkan dirinya karena tidak sesuai dengan semangat zaman.
Tak pelak, perseteruan antara “sejarawan akademik” dan “sejarawan istana” pun menyeruak menyangkut masuknya Islam ke Indonesia dan juga berbagai topik sejarah lain. Itu sebabnya, sebagian kalangan menyerukan “pelurusan sejarah” yang selama ini sering kali bias dan sengaja dibengkokkan.
Bagaimanapun, proses islamisasi Nusantara tetapsaja menyimpan misteri sekaligus merupakan kajian yang menantang. Keunggulan bukuini setidaknya memberi jalan bagi pembaca untuk mengoreksi atau memerkuat sebuahteori. Selain menantang, penelusuran sejarah islamisasi Nusantara demikian rumitkarena wilayah Nusantara yang sangat luas serta bukti-bukti historis yangkurang memadai. (Resensi atas buku "Islam dan Transformasi Masyarakat Nusantara" di Harian Malang Post, edisi Sabtu 24 Maret 2018). https://www.malang-post.com/ragam/budaya/menelusuri-belantara-kajian-islam-di-nusantara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar