Sabtu, 22 Juni 2019

Urgensi Kaidah Fikih Muamalah



Judul Buku    : Kaidah Fikih Muamalah
Penulis            : Enang Hidayat, M.Ag.
Penerbit          : Remaja Rosdakarya, Bandung
Cetakan          : I, Februari 2019
Tebal              : ix + 330 halaman
ISBN               : 978-602-446-317-5
Peresensi        : Ahmad Fatoni
  Praktisi PBA FAI Universitas Muhammadiyah Malang


MEMAHAMI kaidah fikih muamalah merupakan hal yang urgen terutama bagi para peminat kajian ekonomi dalam tinjauan syariat. Penguasaan terhadapnya akan mengetahui benang merah berjuta persoalan dalam hukum Islam dan menjadikan pelaku ekonomi lebih arif di dalam menerapkan fikih dalam waktu dan tempat yang berbeda atas kasus, adat, dan kondisi yang berlainan.
Kaidah fikih muamalah merupakan kumpulan hukum universal tentang persoalan muamalah harta dan hak milik (maliyah) yang dikemukakan para ulama, guna membantu memecahkan persoalan kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menghasilkan keputusan yang bijaksana, logis, dan tentu saja sesuai dengan aturan syariat.
Pentingnya ilmu kaidah fikih muamalah karena dapat memberi kemudahan di dalam merumuskan hukum atas kasus-kasus baru yang belum jelas dalilnya dan memungkinkan menghubungkannya dengan kemaslahatan masyarakat. Selain memberi kepastian hukum, juga memudahkan dalam mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul seiring dengan perkembangan zaman.
Kaidah fikih muamalah dikatakan penting dilihat dari beberapa manfaat. Antara lain, dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fikih muamalah untuk memahami dan menguasai hikmah dan filosofi hukum syariat (maqasid al-syari’at), sebab dengan mendalami beberapa nash, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam persoalan tertentu.
Kedua, dari segi perumusan hukum atas suatu masalah (istinbath al-ahkam), kaidah fikih muamalah mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Karena itu, kaidah fikih muamalah dapat dijadikan sebagai salah satu alat  dalam menyelesaikan persoalan transaksi perekonomian yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya dan Quran mauan Hadis (hlm.6).
Buku Kaidah Fikih Muamalah ini memaparkan kaidah-kaidah yang terkait dengan muamalah maliyah yang sering kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai makhluk sosial. Di dalamnya dibahas ratusan kaidah yang dikemukakan para ulama mazhab yang empat dengan beragam referensinya masing-masing.
Dalam buku ini terdapat sejumlah kaidah-kaidah fikih dirumuskan sebagai bagian dari fatwa ulama, yang menyinggung persoalan perilaku ekonomi umat Islam. Ambil contoh satu kaidah, misalnya, al-aadah muhakkamah (kebiasaan dapat menjadi dasar hukum). Dalam suatu masyarakat, transaksi jual beli dalam skala kecil biasa dilakukan tanpa harus menyebutkan akadnya. Bila antara penjual dan pembeli sudah saling memahami, sebagaimana kebiasaan pada masyarakat yang bersangkutan, maka proses transaksi yang memberi kemudahan tersebut dianggap sah.
Di antara kaidah fikih yang paling mendasar dalam masalah tersebut adalah al-aslu fi al-mu’amalah al-ibaahah illaa an-yadull daliil ‘alaa tahriimihaa (Segala bentuk muamalah pada dasarnya adalah mubah (boleh) kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Ini menjadi landasan hukum bagi setiap bentuk transaksi perdagangan dan ekonomi menjadi halal kecuali ada alasan lain yang melarangnya.
Kaidah di atas bisa menjadi rujukan dalam kasus perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak pelaku akad muamalah, baik jual beli, sewa menyewa, gadai, atau selainnya. Bila terjadi perselisihan di antara mereka terkait dengan persyaratan, harga, atau hal-hal lainnya, maka pihak yang lebih kuat alasannya yang lebih dikuatkan perkataannya. Dalam akad jual beli, misalnya, terkadang yang lebih dikuatkan adalah perkataan si penjual dan adakalanya yang lebih dikuatkan adalah perkataan si pembeli. Dalam kasus perselisihan semacam ini, sering kali penyelesaiannya dikembalikan kepada hukum asal dari permasalahan yang bersangkutan.
Demikian pula, berkaitan dengan cacat pada barang yang diperjual belikan, jika telah terjadi akad jual beli kemudian si pembeli menyatakan ada cacat pada barang maka hukum asalnya cacat tersebut tidak ada, kecuali jika ada bukti pendukung. Dan hukum-hukum asal lainnya sebagaimana dijelaskan para ulama. Dalil Yang Mendasarinya disebutkan dalam hadits Ibnu Mas’ud: Jika terjadi perselisihan antara dua orang yang melakukan muamalah dan tidak ada bukti pendukung antara keduanya maka perkataan berpihak kepada pemilik barang atau keduanya saling membatalkan jual beli itu.
Kaidah ini mempunyai contoh penerapan yang cukup banyak, terutama berkaitan dengan permasalahan muamalah. Suatu contoh, jika seseorang telah membeli sebuah mobil. Selang beberapa hari kemudian ia datang kepada si penjual dan mengatakan ada cacat pada mobil itu. Maka hukum asal dari dakwaan ini adalah tidak diterima kecuali jika si pembeli bisa mendatangkan bukti kebenaran dakwaannya tersebut. Karena hukum asal dari barang yang sudah dibeli adalah bebas dari aib (cacat). 

Singkat kata, pemahaman terhadap kaidah-kaidah fikih muamalah adalah mutlak diperlukan untuk melakukan suatu “ijtihad atau pembaruan pemikiran. Para ulama terdahulu, sejak akhir abad ke-2 Hijriyyah telah merintis batu peletakan kaidah-kaidah fikih muamalah melalui karya-karya agung mereka, yang sampai kini masih terlihat manfaatnya sebagaimana tertuang dalam buku ini.

*Resensi buku ini dimuat di Malang Post, edisi Minggu 23 Juli 2019.



Senin, 01 April 2019

Membangun Karakter Sesuai Ajaran Tuhan



Judul Buku         : Pendidikan Karakter Ajaran Tuhan
Editor                  : Prof. Dr. Ahmad Tafsir
Penerbit              : Rosdakarya, Bandung
Cetakan              : I, Desember 2018
Tebal                     : 250 halaman
ISBN                      : 978-602-446-296-3
Peresensi            : Ahmad Fatoni, Pengajar Pendidikan Bahasa Arab UMM
                           
 

ADA yang beranggapan bahwa keberhasilan proses pendidikan ditentukan oleh seberapa jenius otak setiap anak didik. Semakin ia jenius maka semakin dianggap sukses. Semakin ia meraih predikat juara kelas berturut-turut, maka semakin sukseslah ia.

Padahal, tak jarang anak didik yang sukses di masyarakat justru tidak mendapat prestasi gemilang di sekolahnya. Sebab kesuksesan tidak melulu terkait kecerdasan otak saja. Akan tetapi, kesuksesan ternyata lebih ditentukan oleh kecakapan membangun hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, orang lain dan lingkungan.

Kecakapan membangun hubungan dengan tiga pilar (Tuhan, diri sendiri, dan sosial) tersebut merupakan ciri-ciri karakter yang dimiliki orang-orang sukses. Setiap hasil hubungan itu akan memberikan penyadaran tentang pentingnya pendidikan karakter sejak dini yang pada akhirnya menjadi nilai dan keyakinan anak didik.

Sebagaimana diungkap buku Pendidikan Karakter Ajaran Tuhan ini, pembentukan karakter harus melibatkan aspek iman, ibadah, dan akhlak, yang kini dikenal dengan pendidikan agama (hlm.41). Agama (Islam) sendiri isinya adalah cara hidup. Maka pendidikan agama adalah pendidikan yang menyeluruh tentang kehidupan. Inilah esensi sesungguhnya dari pendidikan karakter yang notabene bermuara dari ajaran Tuhan.

Mengutip QS. Al-Baqarah: 38, Ahmad Tafsir menyimpulkan, tujuan pendidikan Islam sebetulnya amatlah sederhana, yaitu agar manusia mengetahui cara hidup dan hidup dalam cara itu. Dalam konteks pendidikan anak, teori pertama dalam pendidikan agama adalah bagaimana anak didik beriman kepada Allah, kendati pun anak itu belum mampu memikirkannya. Berbeda dengan konsep pendidikan Barat yang lebih memprioritaskan perkembangan pemikiran peserta didik.

Berdasarkan ujaran Luqman kepada anaknya yang terekam dalam QS. Luqman: 14-19, penulis lalu secara rinci mengulas 6 prinsip pendidikan Islam; ajakan untuk beriman, penghormatan kepada orangtua, shalat, amar ma’ruf nahi munkar, sabar, dan tidak sombong. Sampai di sini belum ada pendidikan akal agar berfikir kritis, menganalisis, dan sebangsanya. Pendidikan Islam lebih mendahulukan 6 prinsip di atas sebagai fondasi keterampilan apapun.

Selama ini, umumnya orang membincang kegagalan pendidikan jika sebuah lembaga pendidikan tidak menghasilkan lulusan yang siap pakai karena tidak sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. Bahkan, sebagian orang menganggap inilah masalah yang paling besar dalam pendidikan. Menurut Ahmad Tafsir, cara berfikir semacam itu adalah cara pandang pragmatis.

Tulis Ahmad Tafisr selanjutnya, kemanusiaan manusia ada di dalam batinnya. Batin itulah yang mengendalikan manusia. Itu sebabnya pendidikan Islam senyatanya mengutamakan pembinaan hati. Hakikat kesuksesan manusia tidak hanya mengandalkan keberhasilan secara lahiriyah, melainkan juga mengedepankan keberhasilan secara batiniyah yang tersusun dari akan dan hati sekaligus yang pada gilirannya mewujud dalam perilaku peserta didik.

Kenyataanya, kegagalan utama pendidikan kita justru terletak pada pendidikan akhlak sehingga menyebabkan krisis berkepanjangan. Pendidikan kita memang telah berhasil mencetak peserta didik yang pintar secara akademik, namun sering tidak cerdas akhlaknya. Memang, lembaga pendidikan Islam cukup mampu mengajar bagaimana tata cara shalat, mengajak puasa, mendorong pergi haji, atau menyemangati bayar zakar, tetapi kerap gagal menanamkan akhlak mulia. 

Buku ini lahir dari ragam artikel penulis yang pernah berserak di berbagai surat kabar. Sebagiannya merupakan adaptasi dari beberapa makalah yang pernah disiapkan dalam forum seminar, diskusi atau work shop, atau sekadar untuk bahan ceramah. Sebagian tulisan bahkan ditulis tahun 1960-an, namun tetap relevan dengan perkembangan pendidikan saat ini. Kelebihan sekaligus ciri khas tulisan Ahmad Tafsir, buku ini pun ditulis pendek-pendek dengan bahasa yang “gurih dan renyah” sehingga tidak membosankan. 
Buku semacam ini dapatdijadikan pedoman, terutama para guru dan orangtua, untuk membimbing akhlak anak-anak agar tumbuh menjadi generasi yang salih. Tak pelak, pendidikan pokok anak-anak dapat dimulai dengan penanaman iman, lalu pembiasaan karakter yang luhur, menundukkan hawa nafsu, di bawah naungan ridha Ilahi. Dengan begitu, lingkungan sosial dapat diperbaiki melalui pembangunan karakter sesuai ajaran Tuhan.

(Resensi ini dimuat di harian Malang Post, Minggu 31 Maret 2019)
https://www.malang-post.com/ragam/budaya/membangun-karakter-sesuai-ajaran-tuhan?fbclid=IwAR1UvahTWlubN1qHiGJla6YczPsYqw9J4mvbM9sJ5uS1n4TgkZBA7sY3XiY