Judul
:
Bukan Sekadar Ayah Biasa
Penulis
:
Misbahul Huda
Penerbit
: Filla
Press, Sidoarjo
Edisi : Juli 2017
Tebal
:
257 halaman
ISBN : 978-602-19985-6-4
Peresensi : Ahmad Fatoni, Pengajar PBA-FAI Universitas Muhammadiyah Malang
ALKISAH, suatu
hari Khalifah Umar bin Khattab didatangi seorang ayah beserta anaknya. Sang ayah bercerita kepada Umar
betapa dia sudah tak sanggup lagi mendidik anaknya. Si anak diadukan ke Umar karena perangai buruknya yang melampaui batas. Lalu Umar menanyakan si Anak, “benarkah apa yang dikatakan ayahmu wahai
pemuda? Dan jika itu benar kenapa kau melakukannya?”.
Ternyata si anak tadi sudah lama memendam pertanyaan ke
Umar, “wahai baginda, sebelum aku menjawab pertanyaanmu, aku ingin bertanya, “adakah
kewajiban orangtua terhadap anaknya.” Sambil melihat si Anak, Umar menjawab, “ada tiga
wahai pemuda: memilihkan ibu yang salihah, memberikan nama yang baik, dan mengajarkan Al-Quran”.
Anak itu lalu terus terang, “ketahuilah wahai baginda, ayahku tidak memilihkan ibu yang baik
bagiku, ayahku juga memberiku nama yang kurang baik (diriwayatkan nama anak tersebut Kelelawar Jantan
dalam bahasa Arab), juga tidak pernah mengajariku satu ayat pun dari Al-Quran”
Mendengar
penuturan si anak, Umar langsung memarahi sang ayah, “ketahuliah wahai orangtua,
engkau telah berbuat zalim terhadap anakmu jauh sebelum dia berbuat nakal terhadapmu”.
Pesan moral kisah di atas
menegaskan, jangan terlalu mengimpikan seorang anak yang salih sebelum orangtuanya
salih terlebih dahulu. Demikian pula pesan penulis lewat buku ini. Misbahul
Huda menyayangkan keteladanan sosok ayah yang belakangan semakin langka. Jika
sekarang banyak keluarga modern yang risau karena anak-anaknya durhaka, maka
tidak perlu mencari sebab. Sangat boleh jadi penyebab utamanya adalah ayah yang
durhaka, yaitu pria yang tidak memedulikan anaknya atau suami yang kurang
cerdas memilih istri.
Celakanya, tidak sedikit keluarga
yang anaknya terbiasa “ber-ayah ada, ber-ayah tiada”. Mereka bertemu ayahnya
sebentar di pagi hari atau bahkan tidak bertemu sama sekali, dan baru bertemu
kembali di malam hari. Hasil penelitian Benry Biller di Amerika menunjukkan
waktu efektif antara anak dan ayahnya hanya 19 menit. Lantas, apa yang bisa
diharapkan dari nineteen minutes father?
Kasus di Indonesia gejalanya nyaris
sama. Sebagaimana pernyataan psikolog Ely Risman tentang anak-anak sekarang
yang nakalnya sungguh kelewatan. Kesimpulannya cukup mengejutkan. Menurut Ely, Indonesia
is the fatherness country. Artinya, Indonesia bukanlah negara janda, namun
banyak ayah hadir di hadapan anak-anaknya secara fisik tanpa melibatkan diri
secara emosional dan spiritual yang memadai (hal.39).
Parahnya lagi, banyak kaum ayah
cenderung memanfaatkan pembenaran bahwa tugasnya adalah mencari nafkah di luar
rumah. Sementara mengasuh dan mendidik anak adalah tugas domestik seorang ibu,
merangkap sebagai manajer rumah tangga. Bila ada anak bermasalah, ayah sering
menumpahkan kesalahan kepada seorang ibu.
Senyatanya proses pendidikan anak
dalam keluarga porsinya harus lebih banyak dilakukan seorang ayah. Bukan
berarti peran ibu tidaklah penting. Terlebih, intensitas pengasuhan ibu kepada
anak selama ini tampak lebih dominan ketimbang ayah. Akan tetapi, peran sentral terhadap pendidikan
anak tetap di tangan seorang ayah, bukan ibu atau guru, apalagi pembantu.
Kendati begitu, seorang ayah sebetulnya
tidak dituntut harus serba sempurna, melainkan sekadar teman dialog yang
bersedia untuk tumbuh dan belajar bersama anak-anaknya. Mengutip perkataan
George Herbert, ayah yang sukses bukanlah seorang pria yang kaya atau hebat
dalam segala bidang, atau yang paling cemerlang karirnya di perusahaan. Ayah
yang sukses adalah ayah yang anak lelakinya berkata, “aku ingin seperti ayah”.
Atau, anak perempuannya berkata, “aku ingin suami seperti ayah.” (hal.40).
Seorang ayah,
bagaimanapun, tetap manusia biasa dengan segala
keterbatasan. Justru kesempurnaan itu
hadir saat seorang ayah mampu mendidik dan membesarkan anak-anaknya meraih
sukses di tengah keterbatasannya. Penulis buku ini paling tidak telah membuktikan sendiri melalui kisah-kisah real case sekaligus menawarkan ragam solusi.
Menyimak dari lembar pertama hingga akhir buku ini, betapa
Misbahul Huda sukses menjalankan
misi sebagai ayah yang hebat bagi enam
anak-anaknya. Perpaduan antara kesederhanaan, kejujuran, kedisiplinan, dan
keteladanan menyatu dalam sikap mantan direktur utama beberapa perusahaan milik
grup Jawa Pos itu.
Tak berlebihan kiranya bila
buku ini perlu dibaca oleh siapa pun yang ingin membangun peran sebagai ayah
ideal bagi putra-putrinya. Dengan bahasa yang mengalir, karya ini sarat
inspirasi untuk memandu kaum lelaki yang telanjur jadi ayah namun ‘tersesat’
dalam rutinitas sehari-hari.