Selasa, 14 November 2017

Peran Ideal Seorang Ayah

Judul               : Bukan Sekadar Ayah Biasa
Penulis            : Misbahul Huda
Penerbit          : Filla Press, Sidoarjo
Edisi                : Juli 2017
Tebal               : 257 halaman
ISBN                   : 978-602-19985-6-4
Peresensi           : Ahmad Fatoni, Pengajar PBA-FAI Universitas Muhammadiyah Malang

ALKISAH, suatu hari Khalifah Umar bin Khattab didatangi seorang ayah beserta anaknya. Sang ayah bercerita kepada Umar betapa dia sudah tak sanggup lagi mendidik anaknya. Si anak diadukan ke Umar karena perangai buruknya yang melampaui batas. Lalu Umar menanyakan si Anak, “benarkah apa yang dikatakan ayahmu wahai pemuda? Dan jika itu benar kenapa kau melakukannya?”.
Ternyata si anak tadi sudah lama memendam pertanyaan ke Umar, “wahai baginda, sebelum aku menjawab pertanyaanmu, aku ingin bertanya, “adakah kewajiban orangtua terhadap anaknya.” Sambil melihat si Anak, Umar menjawab, “ada tiga wahai pemuda: memilihkan ibu yang salihah, memberikan nama yang baik, dan mengajarkan Al-Quran”.
Anak itu lalu terus terang,ketahuilah wahai baginda, ayahku tidak memilihkan ibu yang baik bagiku, ayahku juga memberiku nama yang kurang baik (diriwayatkan nama anak tersebut Kelelawar Jantan dalam bahasa Arab), juga tidak pernah mengajariku satu ayat pun dari Al-Quran”
Mendengar penuturan si anak, Umar langsung memarahi sang ayah,ketahuliah wahai orangtua, engkau telah berbuat zalim terhadap anakmu jauh sebelum dia berbuat nakal terhadapmu”.
Pesan moral kisah di atas menegaskan, jangan terlalu mengimpikan seorang anak yang salih sebelum orangtuanya salih terlebih dahulu. Demikian pula pesan penulis lewat buku ini. Misbahul Huda menyayangkan keteladanan sosok ayah yang belakangan semakin langka. Jika sekarang banyak keluarga modern yang risau karena anak-anaknya durhaka, maka tidak perlu mencari sebab. Sangat boleh jadi penyebab utamanya adalah ayah yang durhaka, yaitu pria yang tidak memedulikan anaknya atau suami yang kurang cerdas memilih istri.
Celakanya, tidak sedikit keluarga yang anaknya terbiasa “ber-ayah ada, ber-ayah tiada”. Mereka bertemu ayahnya sebentar di pagi hari atau bahkan tidak bertemu sama sekali, dan baru bertemu kembali di malam hari. Hasil penelitian Benry Biller di Amerika menunjukkan waktu efektif antara anak dan ayahnya hanya 19 menit. Lantas, apa yang bisa diharapkan dari nineteen minutes father?
Kasus di Indonesia gejalanya nyaris sama. Sebagaimana pernyataan psikolog Ely Risman tentang anak-anak sekarang yang nakalnya sungguh kelewatan. Kesimpulannya cukup mengejutkan. Menurut Ely, Indonesia is the fatherness country. Artinya, Indonesia bukanlah negara janda, namun banyak ayah hadir di hadapan anak-anaknya secara fisik tanpa melibatkan diri secara emosional dan spiritual yang memadai (hal.39).
Parahnya lagi, banyak kaum ayah cenderung memanfaatkan pembenaran bahwa tugasnya adalah mencari nafkah di luar rumah. Sementara mengasuh dan mendidik anak adalah tugas domestik seorang ibu, merangkap sebagai manajer rumah tangga. Bila ada anak bermasalah, ayah sering menumpahkan kesalahan kepada seorang ibu.   
Senyatanya proses pendidikan anak dalam keluarga porsinya harus lebih banyak dilakukan seorang ayah. Bukan berarti peran ibu tidaklah penting. Terlebih, intensitas pengasuhan ibu kepada anak selama ini tampak lebih dominan ketimbang ayah. Akan tetapi, peran sentral terhadap pendidikan anak tetap di tangan seorang ayah, bukan ibu atau guru, apalagi pembantu.
Kendati begitu, seorang ayah sebetulnya tidak dituntut harus serba sempurna, melainkan sekadar teman dialog yang bersedia untuk tumbuh dan belajar bersama anak-anaknya. Mengutip perkataan George Herbert, ayah yang sukses bukanlah seorang pria yang kaya atau hebat dalam segala bidang, atau yang paling cemerlang karirnya di perusahaan. Ayah yang sukses adalah ayah yang anak lelakinya berkata, “aku ingin seperti ayah”. Atau, anak perempuannya berkata, “aku ingin suami seperti ayah.” (hal.40).
Seorang ayah, bagaimanapun, tetap manusia biasa dengan segala keterbatasan. Justru kesempurnaan itu hadir saat seorang ayah mampu mendidik dan membesarkan anak-anaknya meraih sukses di tengah keterbatasannya. Penulis buku ini paling tidak telah membuktikan sendiri melalui kisah-kisah real case sekaligus menawarkan ragam solusi.
Menyimak dari lembar pertama hingga akhir buku ini, betapa Misbahul Huda sukses menjalankan misi sebagai ayah yang hebat bagi enam anak-anaknya. Perpaduan antara kesederhanaan, kejujuran, kedisiplinan, dan keteladanan menyatu dalam sikap mantan direktur utama beberapa perusahaan milik grup Jawa Pos itu.
Tak berlebihan kiranya bila buku ini perlu dibaca oleh siapa pun yang ingin membangun peran sebagai ayah ideal bagi putra-putrinya. Dengan bahasa yang mengalir, karya ini sarat inspirasi untuk memandu kaum lelaki yang telanjur jadi ayah namun ‘tersesat’ dalam rutinitas sehari-hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar