Rabu, 04 Oktober 2017

Negeri Belanda di Mata Orang Madura

Refrein di sudut DAM
Judul Buku : Refrein di sudut DAM
Pengarang : D Zamawi Imron
Kategori : Bahasa & Sastra
No. ISBN : 978-979-796-175-6
Halaman : 102
Cetakan : pertama
Ukuran : 16 cm x 23 cm
Harga     
:

Rp. 35.000,-
Peresensi : Ahmad Fatoni, Penyair dan Pengajar UMM


DALAM berbagai kesempatan, D. Zawawi Imron sering kali ditanya, “masih menulis puisi?” Pertanyaan yang membuat “Si Celurit Emas” terkadang merasa kikuk sendiri. Ada semacam sindiran, mengingat umurnya sudah melewati 60 tahun dianggap tidak pantas lagi jika masih menulis puisi. Akan tetapi, sangat boleh jadi, itu pertanda masih banyak orang yang mengharap penyair asal Madura itu terus menulis puisi.
Apa pun tafsir dari pertanyaan orang, Zawawi cuma tersenyum bangga bahwa hidupnya masih dikaitkan dengan puisi. Melalui puisi, penyair yang mengakrabi alam dan budaya Madura ini tidak berhenti belajar menyelami jiwa kemanusiaan dan ayat-ayat Tuhan. Lewat puisi ia ingin bermetamorfosis menjadi manusia paripurna.
Memang puisi bukan segala-galanya. Namun bagi Zawawi, puisi adalah salah satu jendela untuk menerawang denyut nadi kehidupan. Tentu di sana ada jendela-jendela lain yang tak boleh ditinggalkan. Yang pasti, puisi tak sepatutnya bila hanya sebatas nyanyian yang lahir dari kepedihan jiwa atau senyuman bibir belaka, demikian kata Kahlil Gibran.
Melalui jendela antologi puisi ini, Zawawi coba memotret negeri Kincir Angin. Kendati pernah menjajah bangsa pribumi selama ratusan tahun, Belanda masa kini begitu menarik hati setiap peziarahnya. Zawawi pun rupanya tergoda dengan etos keilmuan, profesionalisme, dan kedisiplinan orang-orang Belanda. Gedung-gedungnya tampak berdiri kokoh tak tertandingi, kebersihan seolah menjadi cerminan bahasa penghuninya, hingga kegemaran bersepeda tanpa merasa rendah diri.
Sajak-sajak yang terekam dalam kumpulan puisi ini tidak secara keseluruhan bicara tentang manusia dan alam Belanda. Tetapi puisi-puisi tersebut tidak mungkin ditulis tanpa berkunjung ke sana. Selain apa yang Zawawi lihat dan hayati, juga ada semacam gelegak batin yang dibawa dari tanah air yang tiba-tiba mengharubiru dan berdesakan untuk dituangkan dalam untaian kata-kata.   
Sebagai anak asli pribumi, meski sedang melancong ke luar negeri, kerinduan Zawawi selalu lekat dengan keindahan alam perkampungan seperti lambaian pohon siwalan, desir angin pesisir, pekik bekisar dan ricik air  di sungai, juga kebersahajaan irama hidup kaum petani, tukang becak, penjual nasi pecel, dan penghidang soto daging.
Aneka gemerlap panorama dan peristiwa yang tersaji di Belanda tidak lantas mengerdilkan cinta sang penyair akan kampung halaman dan ibu kandungnya: …..Ibu dan kampung selaksa kilometer jauhnya/ tapi terasa berbatas tabir saja/ segenap keasingan akan lebur/ dengan menyemai cinta ke hati salju…(Refrein di Sudut Dam, hal.25). Betapa sayangnya Zawawi kepada ibu dan kampung halamannya, hingga ke mana pun berkelana, keduanya selalu meronta-ronta di bawah alam sadarnya.
Alih-alih bermaksud ingin menjadi Belanda, puisi-puisi Zawawi tentang negeri Belanda kian mempertegas kebanggaannya sebagai orang Indonesia. Penyair yang pernah meraih Hadiah Sastra Asia Tenggara atau South East Asia Write  Award 2011 lalu, tidak pernah bernafsu menjadi orang lain yang bukan dirinya. Keteguhan sikap Zawawi sungguh menohok kesadaran banyak orang agar tidak terlalu silau dengan budaya orang lain atau merasa inferior dengan khazanah budaya sendiri.    
Tanpa melupakan tragedi kemanusiaan masa lalu, Zawawi sangat menikmati kehangatan senyum orang-orang Belanda. Selama kunjungannya ke Belanda, penyair kelahiran Madura, 21 September 1943, itu menemukan sahabat-sahabat super yang tulus nan jauh dari kepentingan materi. Penjajahan Belanda atas nenek moyang memang sudah berlalu, namun penistaan atas kemanusiaan selalu muncul di muka bumi dengan bentuknya yang baru. Zawawi rupanya tidak ingin larut dalam dendam sejarah, tetapi akan tetap mengutuk setiap penindasan, baik yang dulu, sekarang, maupun yang akan datang. Menyimak puisi-puisi Zawawi sulit terlepas dari konteks sosial yang mengitari, bahkan tidak mungkin dipisahkan dari karakter Zawawi sebagai orang Madura yang tidak mudah menggadaikan harga diri di tengah pergaulan internasional sekalipun.
Mengutip kata pengantar Ketua Pusat Studi Islam dan Filsafat UMM, Pradana Boy, pembaca buku ini setidaknya akan menangkap dua pelajaran penting. Pertama, Zawawi mengajarkan tentang kerterbukaan dalam menerima keragaman. Ambil misal, bagaimana perjalanan Zawawi ke Eropa telah merekam perjumpaannya dengan seorang gadis negro di sebuah trem yang bertolak menuju Den Haag: Dalam lanjut menuju Den Haag/ Mata teduh itu jadi warna gelapnya malam/ yang menggali kedalaman dan memekarkan kejauhan/ Ada sejenis sorga/ di balik sepasang alisnya/ Membuat puisi tak fasih bicara (Bertemu Gadis Negro, hal.21).
Sangat boleh jadi, Zawawi hendak mengajak pembaca untuk memahami dunia multikultur dan kosmopolit, sebuah ruang budaya yang mampu menembus sekat-sekat geografis dan etnis. Manusia saling berkumpul demi suatu ambisi, yakni hasrat berjumpa dengan sesama manusia guna memuliakan kemanusiaan manusia. Hal ini terendus dari puisi pujian setinggi langit saat bertatap muka dengan seorang gadis negro.
Poin kedua, dalam puisi-puisi Zawawi di sini menguar aroma profetik yang cukup kuat. Dalam kemasan bahasa yang matang, Zawawi selalu menyisipkan pesan-pesan Ilahiyah, antara lain, tercermin dalam larik: Mereka menuang anggur/ merah hitam warnanya/ Aku menuang air yang jernih/ bagai air siwalan muda/ Setelah tiba saatnya/ gelas-gelas bersentuhan di udara/ Ting, bunyinya. Kami semua minum/ Persaudaraan memekarkan senyum....(Ramah Tamah, hal.5). Cara Zawawi meminum air putih menggambarkan kebijaksanaan profetik tanpa usil terhadap perilaku orang lain yang tidak sepaham dengan keyakinan agamanya. 
Begitu banyak butiran hikmah yang tersimpan dalam puisi-puisi Zawawi. Namun, sayangnya, ada sedikit jenuh menatap sampul buku ini dengan warna gelap dan tulisan judul yang tampak kaku. Ukuran kertasnya juga terlalu lebar seperti buku pelajaran anak sekolah. Buku ini akan lebih menarik bila dilampiri dengan foto atau gambar-gambar tentang pesona negeri Belanda. 

(Dimuat Jawa Pos, 1 Januari 2017)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar