|
DALAM berbagai
kesempatan, D. Zawawi Imron sering kali ditanya, “masih menulis puisi?”
Pertanyaan yang membuat “Si Celurit Emas” terkadang merasa kikuk sendiri. Ada
semacam sindiran, mengingat umurnya sudah melewati 60 tahun dianggap tidak
pantas lagi jika masih menulis puisi. Akan tetapi, sangat boleh jadi, itu
pertanda masih banyak orang yang mengharap penyair asal Madura itu terus
menulis puisi.
Apa pun tafsir dari pertanyaan
orang, Zawawi cuma tersenyum bangga bahwa hidupnya masih dikaitkan dengan
puisi. Melalui puisi, penyair yang mengakrabi alam dan budaya Madura ini tidak
berhenti belajar menyelami jiwa kemanusiaan dan ayat-ayat Tuhan. Lewat puisi ia
ingin bermetamorfosis menjadi manusia paripurna.
Memang puisi bukan
segala-galanya. Namun bagi Zawawi, puisi adalah salah satu jendela untuk
menerawang denyut nadi kehidupan. Tentu di sana ada jendela-jendela lain yang
tak boleh ditinggalkan. Yang pasti, puisi tak sepatutnya bila hanya sebatas
nyanyian yang lahir dari kepedihan jiwa atau senyuman bibir belaka, demikian
kata Kahlil Gibran.
Melalui jendela antologi
puisi ini, Zawawi coba memotret negeri Kincir Angin. Kendati pernah menjajah
bangsa pribumi selama ratusan tahun, Belanda masa kini begitu menarik hati
setiap peziarahnya. Zawawi pun rupanya tergoda dengan etos keilmuan,
profesionalisme, dan kedisiplinan orang-orang Belanda. Gedung-gedungnya tampak berdiri
kokoh tak tertandingi, kebersihan seolah menjadi cerminan bahasa penghuninya,
hingga kegemaran bersepeda tanpa merasa rendah diri.
Sajak-sajak yang terekam
dalam kumpulan puisi ini tidak secara keseluruhan bicara tentang manusia dan
alam Belanda. Tetapi puisi-puisi tersebut tidak mungkin ditulis tanpa
berkunjung ke sana. Selain apa yang Zawawi lihat dan hayati, juga ada semacam gelegak
batin yang dibawa dari tanah air yang tiba-tiba mengharubiru dan berdesakan
untuk dituangkan dalam untaian kata-kata.
Sebagai anak asli pribumi,
meski sedang melancong ke luar negeri, kerinduan Zawawi selalu lekat dengan
keindahan alam perkampungan seperti lambaian pohon siwalan, desir angin pesisir,
pekik bekisar dan ricik air di sungai,
juga kebersahajaan irama hidup kaum petani, tukang becak, penjual nasi pecel,
dan penghidang soto daging.
Aneka gemerlap panorama
dan peristiwa yang tersaji di Belanda tidak lantas mengerdilkan cinta sang
penyair akan kampung halaman dan ibu kandungnya: …..Ibu dan kampung selaksa
kilometer jauhnya/ tapi terasa berbatas tabir saja/ segenap keasingan akan
lebur/ dengan menyemai cinta ke hati salju…(Refrein di Sudut Dam, hal.25).
Betapa sayangnya Zawawi kepada ibu dan kampung halamannya, hingga ke mana pun
berkelana, keduanya selalu meronta-ronta di bawah alam sadarnya.
Alih-alih bermaksud
ingin menjadi Belanda, puisi-puisi Zawawi tentang negeri Belanda kian mempertegas
kebanggaannya sebagai orang Indonesia. Penyair yang pernah meraih Hadiah Sastra
Asia Tenggara atau South East Asia Write
Award 2011 lalu, tidak pernah bernafsu menjadi orang lain yang bukan
dirinya. Keteguhan sikap Zawawi sungguh menohok kesadaran banyak orang agar
tidak terlalu silau dengan budaya orang lain atau merasa inferior dengan khazanah
budaya sendiri.
Tanpa melupakan tragedi
kemanusiaan masa lalu, Zawawi sangat menikmati kehangatan senyum orang-orang
Belanda. Selama kunjungannya ke Belanda, penyair kelahiran Madura, 21 September
1943, itu menemukan sahabat-sahabat super yang tulus nan jauh dari kepentingan
materi. Penjajahan Belanda atas nenek moyang memang sudah berlalu, namun
penistaan atas kemanusiaan selalu muncul di muka bumi dengan bentuknya yang
baru. Zawawi rupanya tidak ingin larut dalam dendam sejarah, tetapi akan tetap
mengutuk setiap penindasan, baik yang dulu, sekarang, maupun yang akan datang. Menyimak
puisi-puisi Zawawi sulit terlepas dari konteks sosial yang mengitari, bahkan
tidak mungkin dipisahkan dari karakter Zawawi sebagai orang Madura yang tidak
mudah menggadaikan harga diri di tengah pergaulan internasional sekalipun.
Mengutip kata pengantar
Ketua Pusat Studi Islam dan Filsafat UMM, Pradana Boy, pembaca buku ini
setidaknya akan menangkap dua pelajaran penting. Pertama, Zawawi mengajarkan
tentang kerterbukaan dalam menerima keragaman. Ambil misal, bagaimana
perjalanan Zawawi ke Eropa telah merekam perjumpaannya dengan seorang gadis
negro di sebuah trem yang bertolak menuju Den Haag: Dalam lanjut menuju Den
Haag/ Mata teduh itu jadi warna gelapnya malam/ yang menggali kedalaman dan
memekarkan kejauhan/ Ada sejenis sorga/ di balik sepasang alisnya/ Membuat
puisi tak fasih bicara (Bertemu Gadis Negro, hal.21).
Sangat boleh jadi,
Zawawi hendak mengajak pembaca untuk memahami dunia multikultur dan kosmopolit,
sebuah ruang budaya yang mampu menembus sekat-sekat geografis dan etnis.
Manusia saling berkumpul demi suatu ambisi, yakni hasrat berjumpa dengan sesama
manusia guna memuliakan kemanusiaan manusia. Hal ini terendus dari puisi pujian
setinggi langit saat bertatap muka dengan seorang gadis negro.
Poin kedua, dalam
puisi-puisi Zawawi di sini menguar aroma profetik yang cukup kuat. Dalam
kemasan bahasa yang matang, Zawawi selalu menyisipkan pesan-pesan Ilahiyah,
antara lain, tercermin dalam larik: Mereka menuang anggur/ merah hitam
warnanya/ Aku menuang air yang jernih/ bagai air siwalan muda/ Setelah tiba
saatnya/ gelas-gelas bersentuhan di udara/ Ting, bunyinya. Kami semua minum/
Persaudaraan memekarkan senyum....(Ramah Tamah, hal.5). Cara Zawawi meminum
air putih menggambarkan kebijaksanaan profetik tanpa usil terhadap perilaku
orang lain yang tidak sepaham dengan keyakinan agamanya.
Begitu banyak butiran hikmah
yang tersimpan dalam puisi-puisi Zawawi. Namun, sayangnya, ada sedikit jenuh
menatap sampul buku ini dengan warna gelap dan tulisan judul yang tampak kaku.
Ukuran kertasnya juga terlalu lebar seperti buku pelajaran anak sekolah. Buku
ini akan lebih menarik bila dilampiri dengan foto atau gambar-gambar tentang pesona
negeri Belanda.
(Dimuat Jawa Pos, 1 Januari 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar