Selasa, 10 Oktober 2017

Komunikasi Politik dan Politik Komunikasi

Judul Buku     : Komunikasi Politik dan Politik Komunikasi
Penulis           : Prof. Deddy Mulyana, M.A. Ph.D
Penerbit         : Remaja Rosdakarya, Bandung
Cetakan         : I, September 2013
Tebal              : xiii+330 halaman
Harga             : Rp 60.500,-

Dalam teori komunikasi massa, baik melalui media maupun langsung, suatu hal yang baik jika diekspos terlalu sering dan eksesif akan menimbulkan ‘kebosanan informasi’. Pemberitaan over-exposed setiap hari akan mengakibatkan rutinitas yang menyesakkan dan rasa muak khalayak.
Sekadar contoh, iklan Aburizal Bakrie (ARB) di baliho dan poster di seluruh pelosok negeri dari Sabang sampai Papua ternyata tidak meningkatkan elektabilitasnya. Demikian pula iklannya di TV yang sedemikian gencar, hingga terkesan mengeksploitir kedaulatan massa, tidak mampu mendongkrak elektabilitas ARB. Ini jelas menimbulkan pertanyaan pengamat komunikasi massa.
Sebaliknya, dari sisi teori komunikasi massa, reputasi Gubernur Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dianggap telah mengganggu popularitas seluruh capres yang sudah dicalonkan oleh partai politik. Dari mulai Prabowo sampai capres deklarasi sendiri semacam Farhat Abbas kelimpungan mencari titik lemah Jokowi untuk diserang.
Buku ini mengungkap fenomena politisi dalam berkomunikasi dan bagaimana mereka mengemas strategi demi mencapai tujuan politiknya yang sering mengabaikan etika komunikasi. Padahal, untuk melakukan komunikasi politik yang efektif justru duperlukan kejujuran dan ketulusan dalam berkomunikasi, mempertimbangan latar sosio-budaya khalayak dan menggunakan bahasa yang jernih.
Kenyataannya, komunikasi politik di Indonesia tergolong politik paling aneh, paling absurd, paling unik, dan sekaligus paling sulit diprediksi. Terlebih menjelang Pemilu, politik lokal maupun politik nasional, bercampur dengan klenik.
Deddy menyebut kegaduhan politik semakin menjadi-jadi kala anomali politik kian bertebaran di sana sini. Misalnya, banyak kasus korupsi yang menerpa pejabat publik akibat menerapkan ”politik kuasa”, seorang wakil rakyat berplesir ke luar negeri atas nama studi banding atau seorang gubernur memperluas kekuasaannya kepada suami, adik, atau keponakan.
Hanya di Indonesia, politisi kawakan bisa keok oleh seorang artis yang menjadi pendatang baru untuk mendongkrak popularitas partai. Tak cuma itu, anomali juga berlangsung dalam konteks kampanye politik dan pemilu. Kampanye dan pemilu politik di negeri ini terus diwarnai jual beli suara dan kekerasan.
Dengan menyoroti berbagai anomali tersebut, menurut Deddy, definisi komunikasi politik di Indonesia lebih cocok bila dikonseptualisasikan sebagai komunikasi politik yang dinamis, mudah berubah, rumit, dan bahkan sulit diprediksi.
Terlebih, komunikasi politik di negeri ini bernuansa konteks tinggi: lebih banyak pesan-pesan yang tersirat daripada yang tersurat, termasuk pesan dalam bahasa tubuh, busana, dan diam. Suara mendehem Pak Harto yang membuat takut bawahannya, sikap diam Bu Megawati yang memancing multitafsir, baju kotak-kotak Jokowi saat Pilkada DKI Jakarta yang mengesan kesederhanaan, semua itu merupakan komunikasi politik yang pelik.
Dalam perjalanannya, kajian komunikasi politik selalu menggunakan perspektif linier yang berorientasi pada efek dan pesan politik harus sampai ke khalayak politik. Sementara Deddy mencoba menggunakan perspektif interpretatif sehingga menjadikan buku ini menarik untuk disimak baik oleh akademisi, praktisi politik, dosen dan mahasiswa, hingga masyarakat umum.
Ada empat bab yang menjadi pembahasan dalam buku ini. Pertama, melihat berbagai anomali politik yang dipertontonkan para praktisi politik. Kedua, menyoroti komunikasi wakil rakyak di media. Ketiga, membincang politik bahasa kaum penguasa. Keempat, menimba komunikasi politik dari luar negeri.
Kendati pembahasannya terlalu melebar ke mana-mana, buku Komunikasi Politik dan Politik Komunikasi ini cukup unik dan menarik sebab penulisnya mencoba mendedah gaya komunikasi para praktisi politik dalam mempengaruhi massa serta pemanfaatan media sebagai senjata pencitraan. Dengan kekuatan analisis mendalam, menjadikan karya ini layak dibaca. ***

Peresensi Ahmad Fatoni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar