Judul Buku : Memahami Terorisme; Sejarah, Konsep, dan Model
Editor : Jajang Jahroni dan Jamhari Makruf
Penerbit : Kencana Bekerja sama PPIM UIN Jakarta
Cetakan : I, Desember 2016
Tebal : 183 halaman
ISBN : 978-602-422-043-3
Peresensi : Ahmad Fatoni
Pengajar PBA Fakultas Agama Islam UMMDipublikasikan oleh Bhirawa Online
Link http://harianbhirawa.com/2017/05/memahami-dan-menanggulangi-terorisme/
Saat mendengar istilah “terorisme” banyak orang yang langsung
mengaitkannya dengan agama Islam. Padahal fenomena terorisme bukanlah
monopoli satu agama atau bangsa tertentu. Bahkan tindakan terorisme yang
mengatasnamakan suatu agama tidak serta merta ia sepenuhnya muncul
karena ajaran agama tersebut.
Dalam konteks buku ini, terorisme muncul lebih karena faktor-faktor
struktural yang melingkupi suatu komunitas, ketimbang tafsir tertentu
atas ajaran agama. Kendati demikian, pada gilirannya nanti tafsir
tersebut diperalat untuk melegitimasi gerakan teror yang dilakukan. Pada
titik inilah orang sering mengambil kesimpulan ceroboh bahwa tindak
terorisme lahir karena paham agama.
Terorisme sesungguhnya fenomena yang cukup tua dalam sejarah.
Menakut-nakuti, mengancam, memberi kejutan kekerasan atau membunuh
dengan maksud menyebarkan rasa takut adalah taktik-taktik yang sudah
melekat dalam perjuangan kekuasaan, jauh sebelum hal-hal itu dinamai
“terorisme”.
Mengutip Bassiouni, seorang ahli hukum internasional, terorisme adalah:
“Tindakan kekerasan yang secara internasional terlarang di mana tindakan
ini dilandasi motivasi ideologi untuk menciptakan rasa teror pada
seluruh atau sebagian masyarakat dalam rangka mendapatkan kekuatan atau
propaganda atau kerugian, terlepas apakah pelaku bertindak untuk dan
atas nama pribadi atau negara.” (hal.xvi).
Sebagai fenomena global yang mengancam tatanan dunia, semua negara turut
dalam barisan menolak terorisme. Terorisme tidak saja telah mengancam
perdamaian dunia, terutama kaamanan, tetapi juga dapat menghancurkan
dimensi ekonomi, sosial dan masa depan pemerintahan sebuah negara.
Negara-negara yang tidak dapat menyelesaikan masalah terorisme secara
efektif akan dicap sebagai ‘negara gagal’, negara yang tidak mampu
memanfaatkan otoritas yang dimilikinya.
Pada sisi lain, kampanye global melawan terorisme yang dipimpin oleh
Amerika Serikat justru meletakkan negara-negara di dunia ke dalam dua
kubu yang cenderung bertentangan satu sama lain: either you are with us,
or against us. Pengkubuan ini jelas kian memperkeruh suasana sebab
tindak pencegahan terorisme senyatanya diupayakan oleh setiap negara
demi melindungi warganya terlepas apakah mereka masuk dalam kubu Amerika
Serikat atau tidak.
Secara garis besar buku hasil karya para peneliti UIN Jakarta ini
terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, memaparkan konsep-konsep
dasar terorisme. Beberapa hal seperti motif pelaku terorisme, siapa
sasarannya, hingga bagaimana terorisme muncul dalam lintasan sejarah
dibahas tuntas dalam bagian ini. Bagian kedua, mengurai konsep-konsep
pencegahan dan pemberantasan terorisme, baik yang terjadi di dunia nyata
maupun dunia virtual.
Sebagai bagian dari fenomena sosial, terorisme kini berkembang sejalan
dengan perkembangan peradaban manusia. Cara-cara yang digunakan untuk
melakukan kekerasan dan ketakutan juga semakin canggih seiring dengan
kemajuan teknologi modern. Proses globalisasi dan budaya massa menjadi
lahan subur pertumbuhan terorisme.
Karena itu, pada Bab “Terorisme dan Dunia Virtual” dalam buku ini
dijelaskan bagaimana cara-cara penanganan digital jika menemukan
tindakan terorisme di ruang virtual. Terorisme yang menggunakan internet
umumnya memiliki banyak anggota yang tersebar di seluruh dunia. Bahkan,
bila diumpamakan sebagai franchise, kelompok terorisme di dunia maya
mempunyai banyak cabang (hal.134).
Beberapa contoh kelompok terorisme siber adalah kelompok yang berhasil
meretas database milik pemerintah, menyebar virus komputer yang
mematikan maupun melakukan spam flooding. Berdasarkan sebuah laporan,
misalnya, para peretas memodifikasi para pasien di database sebuah rumah
sakit yang menyebabkan jatuhnya banyak korban jiwa karena salah
menerima golongan darah saat dilakukan transfusi darah.
Para teroris yang mengunakan internet telah memanfaatkan kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi ini sebagai corong baru untuk
menyebarkan ketakutan atau propaganda. Dengan kecepatan penyebaran
informasi yang disediakan internet, mereka berharap agar dunia
internasional bingung dan mau menuruti ambisi mereka.
Tentu, segala jenis tindakan terorisme tidak dapat dibenarkan, baik di
dunia nyata maupun di dunia virtual. Negaralah yang paling bertanggung
jawab dalam membendung kejahatan terorisme. Namun, selain negara,
partisipasi masyarakat pun penting dalam proyek penanggulangan tindak
kejahatan terorisme demi terwujudnya perdamaian dunia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
-
Ahmad Fatoni , kelahiran Surabaya, alumni Sastra Arab dari International Islamic University Islamabad Pakistan . Beberapa karya tulis; cerpe...
-
Judul : Bukan Sekadar Ayah Biasa Penulis : Misbahul Huda Penerbit : Filla Press , Sidoarjo Edisi ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar