Jumat, 01 Desember 2017

Islam Bukan Agama Kekerasan

 
Judul Buku    : Transformasi Politik Islam: Radikalisme, Khliafatisme, dan Demokrasi
Penulis          : Prof. Dr. Azyumardi Azra, CBE.
Penerbit        : Kencana, Jakarta
Cetakan        : Pertama, 2016
Tebal            : 319 halaman
ISBN            : 978-602-0895-87-1
Peresensi      : Ahmad Fatoni Pengajar PBA Universitas Muhammadiyah Malang
Di publikasikan oleh : Malang Post http://www.malangpost.net/ragam/resensi/islam-bukan-agama-kekerasan

Berbicara mengenai agama bagaikan berbicara tentang suatu paradoks. Di satu pihak, agama dialami sebagai jalan dan penjamin keselamatan, cinta, dan perdamaian. Di lain pihak, sejarah membuktikan, agama justru menjadi sumber penyebab dan alasan bagi kehancuran umat manusia. Karena agama, orang  bisa saling mencinta. Tetapi atas nama agama pula, orang bisa saling membunuh dan menghancurkan.
Lumayan bila paradoks tersebut masih bisa berjalan dengan seimbang. Namun rasanya keseimbangan itu kini makin sulit terjadi. Sejak serangan terhadap World Trade Center, 11 September 2001, seakan datang sebagai pesan bahwa agama bakal membawa permusuhan dan kekerasan atas nama agama.
Kekhawatiran itulah yang menjadi konteks Profesor Azyumardi Azra dalam menulis buku Transformasi Politik Islam ini. Titik tolak buku ini berangkat dari dua hal; pertama, meningkatnya kekerasan dan terorisme yang dilakukan kelompok ekstrem-radikal atas nama Islam. Kedua, munculnya gelombang demokrasi di Indonesia sejak 1998 dan di beberapa Negara Arab mulai akhir 2010 hingga kini. Penulis menunjukkan betapa agama dalam pengalaman pemeluknya memiliki potensi sebagai alat perusak bagi kehidupan.
Sudah seharusnya, kaum beragama, mengambil butir-butir mutiara pelajaran dari peristiwa-peritiwa peperangan yang beradarah-darah pada masa lalu dengan harapan tragedi yang menelan banyak korban itu tidak terulang kembali. Berbagai pihak hendaknya lebih arif dan lebih bisa bekerjasama dalam membangun kehidupan bersama dalam rangka merajut persaudaraan hakiki dan perdamaian dunia sejati.
Dalam buku hasil akumulasi pembacaan sebagai Guru Besar Sejarah UIN Jakarta, Aztumardi Azra mengungkap secara konseptual kekerasan bernuansa agama dengan pendekatan sosiologis-historis serta bagaimana mengikis konteks yang menjadi pemicu lahirnya tindak kekerasan atas nama agama. 
Sebab selama ini, agama selalu diasosiasikan sebagai ajaran penuh kasih kayang, kedamaian dan keselamatan. Wajah sejuk agama dinilai sangat tidak mungkin berkelindan dengan praktik kekerasan. Kenyataannya, aneka wajah kekerasan atas nama agama kerap diterjemahkan sebagai legal doctrine yang wajib diamalkan.
Kekerasan atas nama agama lalu tidak saja mengambil bentuk secara fisik, tapi adakalanya melibatkan tekanan non fisik yang mengandung muatan politis, sosiologis, dan antropologis. Persoalannya, mengapa agama akhir-akhir ini kian identik dengan konflik dan kekerasan?
Buku ini mengisyaratkan, relasi norma agama dalam motif kekerasan mempunyai dua wajah yang saling berseberangan. Satu wajah memandang dogma agama sebagai subjek kekerasan. Sedang wajah yang lain melihat agama sebagai korban kekerasan. Pada posisi pertama, agama ditengarai menjadi faktor penyebab kekerasan. Faktor ini biasanya muncul dari institusi, doktrin, misi maupun kepemimpinan agama. Sementara posisi yang menempatkan agama sebagai korban kekerasan adalah penyalahgunaan agama oleh pelaku kekerasan.
Tak pelak, wajah agama tidak seramah nilai normatifnya yang mengampanyekan persaudaraan, kebersamaan sekaligus menebar misi rahmatan lil ‘alamin. Kita lihat, misalnya, wajah agama di Indonesia yang senyatanya menguar kesejukan dan kedamaian, tidak jarang masih terlihat bopeng dengan berkembangnya radikalisme dan terorisme, baik berwujud gerakan fundamentalisme keagamaan-sektarian maupun fundamentalisme globalisasi-ekstrem.
Padahal spektrum terluas dari dampak tindakan radikal bernuansa agama, berpotensi mengoyak agregasi sosial yang sudah mapan. Sebab, agresivitas massa berpeluang menyeret berbagai elemen masyarakat untuk membajak tafsir agama sebagai senjata tindak kekerasan.
Maka, kekerasan yang beraroma agama sebenarnya bukan kesalahan ajaran agama itu sendiri, tapi lebih disebabkan human error, yakni sikap sebagian pemeluknya yang terkadang menafsirkan ajaran teologis-normatif secara serampangan. Bisa juga karena kepentingan—politik atau ekonomi—yang terlalu berlebihan sehingga mengalahkan kepentingan agama.
Melalui kajian akademis dengan ragam rumusan teoretis dan panduan praktis, Profesor Azyumardi Azra tidak hanya fasih menjelaskan tema radikalisme atau ekstremisme dan demokrasi serta kaitannya dengan Islam, tetapi juga tema lain yang menjadi misi intelektual yang telah lama digelutinya secara instens.
Buku ini sangat layak dijadikan bahan kajian dan renungan tentang masa depan politik Islam oleh para mahasiswa FISIP, akademisi, peneliti, tokoh agama, birokrat, dan pejabat pemerintah pengambil kebijakan demi terpeliharanya sikap saling pengertian, toleransi, harmoni, dan kerukunan antarumat beragama dalam bingkai kebangsaan, keindonesiaan, dan kemanusiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar